Kamis, 21 Oktober 2010

Sore di bumi Jakarta

Hujan mengguyur bumi Jakarta, suara petir menggelegar, sesekali terdengar seperti bom. Sedang suasana kelas, nampaknya tak kalah seru dengan kilat yang menyambar-nyambar, masih saja gaduh seperti biasanya. Tapi hal itu tak berlangsung lama, mata kuliah Dasar Logika pun diakhiri oleh dosen, mahasiswa menjadi girang dan ingin segera pulang.

Para mahasiswa keluar dari ruangan, berjalan menuruni jenjang, kemudian pada belokan hilang di tengah kerumunan. Aku pun sama halnya mereka, dengan segera kuturuni tangga yang cukup membuat nafas terengah-engah. Sampai di bawah, kuayunkan kaki keluar kampus meski hujan masih rintik-rintik.

Tak lama, angkutan umum telah berhenti di depan halte. Agak sesak—memang seperti itulah keadaan angkutan umum—kalau belum penuh belum juga berjalan. Tapi hari ini aku sial, mendapat tempat duduk yang mengahadap ke belakang. Tentu hal ni sangat tidak mengasyikkan, kepalaku menjadi pusing—mungkin karena tak terbiasa menghadap ke belakang ketika naik kendaraan.

Awalnya, mobil berjalan lancar menyusuri jalan raya Lenteng Agung Jakarta, jadi bagiku tak ada masalah. Tapi, ketika hampir sampai perempatan jalan, macet pun tak terelakkan lagi. Suara klakson seakan mewakili mulut para pengendara yang terpancing emosi. Aku sebenarnya gusar, selain pusing, banyak pengendara yang seenaknya saja meyerobot.

Beberapa waktu aku sabar, tapi nampaknya jalanan masih saja lumpuh. Suara sirine—pengingat bahwa kereta akan datang—berdengung kencang di telinga, mungkin hampir 10 menit sirine itu berbunyi. Aku tak tahu kenapa bisa sampai begitu lama, mungkin karena hati-hatinya petugas yang takut akan kecelakaan, sehingga harus mengorbankan macet.

Anehnya, sebelum dan sesudah rel kereta, masih ada lampu merah hijau, sehingga ketika sirine berhenti telah dilanjutkan lampu merah yang menyala lama. Terkadang, belum sampai lampu hijau menyala, sirine kereta berbunyi kembali. Sial, aku terjebak dalam suasana itu—sirine yang menyala kembali membuat kepala ini semakin pusing.

Keadaan seperti itulah yang paling aku benci. Selain pusing dan lelah, polusi udara juga sangat terasa di ujung hidung ini. Kendaraan yang sebenarnya sudah tak layak pakai pun masih juga turun ke jalan, sehingga asap yang keluar terlihat mengepul tebal. Kadang aku berpikir, kenapa pemerintah tidak memperhatikan hal-hal seperti ini? Sedang di luar sana terdengar wacana tentang pemanasan global. Bukankah ini merupakan penyebab yang sangat nyata di ibukota?

Yang membuat hati ini bertambah geli, ketika aku melihat barisan mobil mewah yang terlihat tak berdaya di aspal jalanan. Sesekali pandangan kuarahkan ke mobil-mobil mewah itu, sekedar untuk memalingkan wajah agar tak jenuh. Tapi yang aku dapat adalah keheranan yang terus menggelitik otakku. Sebab, mobil mewah yang berbaris panjang tak berdaya itu hanya ditunggangi oleh satu orang saja dalam mobil. Aku bergumam nakal “pantas saja macet”.

Kepalaku rasanya semakin pusing saja, perjalanan belum juga sampai, padahal sudah satu jam—biasanya hanya 20 menit sudah sampai kalau tak macet. Tapi akhirnya “perjuangan” yang tak masuk akal itu berakhir sementara,aku telah turun dari angkutan dan setelah itu menunggu bus arah Bekasi. Kusambangi penjual gorengan, kudapan itu terasa begitu nikmat—mungkin karena lapar dan dingin pula. Setelah itu bus pun datang.

Kunaiki jenjang bus itu, sambil melihat-lihat tempat duduk yang masih kosong. Dari arah depan aku terus melangkah ke belakang mencari tempat duduk. Akhirnya ada satu tempat—walaupun harus diapit dua orang berbadan gendut. Bus berjalan lambat-lambat, menunggu penumpang sampai tak menyisakan ruang di dalam bus. Suasana menjadi gerah, bau parfum yang bercampur keringat pun begitu menyengat. Kemudian suasana menjadi sayup, bus telah memasuki jalan tol, melaju dengan cepat tanpa memperdulikan suasana hati penumpangnya.
[..]

Senin, 18 Oktober 2010

Berbeda

Manusia tercipta bukan hanya satu karakter, namun manusia memiliki sifat pribadi yang tak sama dengan yang lain. Seorang wanita satu dengan yang lain pun tak sejalur pemikirannya, atau sangat mungkin berbeda dari sisi yang kita anggap sebuah keharusan—dalam hubungan seks. Seorang pria, tak jauh berbeda dengan si wanita tadi, ia juga mempunyai pemikiran yang tak sama dengan sejenisnya. Bisa jadi, seorang pria memiliki sifat yang sama dengan seorang wanita.

Lihat di jalan-jalan pada malam hari, begitu banyaknya wanita—yang seharusnya tidak di luar rumah, ia malah lebih memilih untuk memperlihatkan batang hidungnya di keheningan malam. Bukankah ia berbeda dari yang sejenisnya? Bukankah ia nampak lain di hadapan khalayak orang? Dan dari situlah kita tahu, bahwa kita tak bisa selamanya memaksakan sifat yang pribadi itu ke dalam yang umum.

Sebab, masih ada sesuatu yang tidak nampak dari wanita itu—walau orang lain memvonisnya dengan pemikiran yang negatif. Kita hanya tahu mereka dari sisi luarnya saja—dari yang umum saja. Dan diam-diam kita telah mencoba mengkategorikan wanita itu berbeda dari yang umum.Wanita malamkah ia? Menjaja tubuhkah ia? Lalu untuk apa?

Pertanyaan itu muncul sebagai pemberontakkan dalam batin kita. Sebuah pengaduan akan kesaksian yang aneh. Haruskah ia menjaja tubuhnya hanya karena kebutuhan biologis saja? Lalu dengan itu ia setiap malam keluar dengan busana yang tak lazim. Rasanya tak seperti itu, pasti ada sesuatu yang mungkin kita tak tahu.

Jawaban dari pertanyaan itu muncul justru dalam keaadaan yang tidak sengaja. Ketika aku pergi untuk mencari makanan, aku merasa ada yang aneh dari si pemilik warung. Ia seorang pria, namun ia bercara layaknya seorang wanita—dari cara bicaranya, jalannya, hingga pandangan matanya. Tak lama kemudian aku tahu, pemilik warung itu tak memiliki sifat yang umum layaknya seorang pria.

Sebagai seorang yang gelisah, aku mencoba mencari-cari jawaban, hingga perbincangan pun berlangsung cukup lama. Aku mencoba menanyakan semua itu—menanyakan tentang orang-orang yang tak umum. Karena pria itu telah mengakui bahwa dirinya mempunyai kelainan dalam hubungan seksual; ia seorang pria yang suka berhubungan dengan sesama pria. Lalu untuk apa? Pertanyaan itu muncul kembali.

Untuk kebanyakan perempuan malam, menjaja tubuhnya adalah bukan semata-mata ia ingin memenuhi kebutuhan biologisnya. Wanita malam tak jauh berbeda dengan kita, atau dengan pekerja-pekerja kantor. Ia memiliki kebutuhan hidup yang harus segera dipenuhi, butuh untuk makan sehari-hari, atau juga butuh untuk menghidupi keluarganya—keluarga yang tak sempurna. Bahkan ia malah tak sedikit pun puas dengan biologisnya.

Lalu untuk pria, mereka yang memiliki sifat yang lain itu lebih memilih kebutuhan biologisnya daripada masalah ekonomi. Dalam hal ini pun banyak jenis pria yang lain itu—dari cara ia berdandan—ada pria yang berbusana wanita, pria yang berbusana pria namun bergaya seperti wanita, atau pria yang gagah tanpa ada tanda kewanitaan sedikitpun. Dari kebutuhan seks, ada pria yang tidak semata-mata hanya ingin berhubungan dengan pria saja, namun dengan wanita pun ia tak ada masalah(bee seks).

Kini aku semakin menyadari, bahwa manusia tercipta dengan berbagai jenis dan keanehannya. Namun tak bisa kita menilai begitu saja dengan pemikiran negatif. Karena mereka ada bukan semata-mata disengaja, namun seleksi alam lah yang membuat mereka lain dari yang umum. Mereka mempunyai sifat yang tidak seharusnya oleh kita dipandang sebelah mata. Mereka mempunyai alasan, dan mereka butuh jawaban.

Tidak selamanya yang berbeda itu salah, karena yang berbeda pun hakikatnya sama dengan yang umum. Mereka hanya menjalankan “cara”—yang kita dengan serta-merta mengutuk mereka salah, bahkan sering kita dengar ucapan”sampah masyarakat”. Mereka yang berbeda adalah mereka yang kehilangan arah, lepas kendali dari hakikat. Seperti kata Goenawan Muhammad;”kebenaran itu ada dimana-mana, termasuk di tempat yang tidak kita sukai sekalipun”.
[..]

Bahan Bakar

Aku kadang mendengar orang melontarkan kalimat” kegagalan adalah keberhasilan yang tertunda”. Aku berdiam sejenak, kedua kupingku masih terasa geli mendengar kalimat itu. Mungkin, kalimat itu menjelaskan; kegagalan adalah bahan bakar semangat untuk mencapai keberhasilan. Mungkin juga, kegagalan adalah akhir dari segalanya.

Dengan pemikiran yang pertama, aku mungkin bisa menangkap—memahami kata yang teramat tersirat. Sebab, ketika kita dalam keadaan terbelakang, besar kemungkinan kita mempunyai semangat yang “lebih” dari orang-orang yang menganggap dirinya sudah terdepan. Kita dituntut melakukan sebuah percepatan untuk mengejar mereka yang telah lebih dahulu di depan.

Jika tidak, kita akan sama tertinggal dengan mereka yang dinamis. Mereka, akan terus melaju dengan kecepatan yang sama tetapi bergerak terus menerus. Artinya, jika kita masih melaju dengan kecepatan yang sama, maka tidak ada artinya kecepatan itu. Akhirnya kita dipaksa untuk melakukan waktu tempuh yang lebih cepat dari mereka.

Seseorang dalam keadaan seperti inilah besar kemungkinan mendapat dorongan yang tak terduga. Mendapat motivasi apa yang tidak biasanya terjadi dalam diri, kekuatan itu muncul karena adanya desakan dalam batin—merasa diri harus bisa mengejar mereka yang terdepan dari kita.

Tap apa lacur, jika kita berada dalam “trek” yang berbeda, dengan jalur yang tak sempurna, dan harus mengejar mereka yang berada dalam lintasan mulus tanpa celah yang menghambat. Sementara kita diombang-ambing oleh sombongnya jalan.

Tapi ada hal yang mungkin luput dari perhatian kita—mungkin kita mengira jika kita tak mampu lagi mengejar ketertinggalan itu, sebab, jalan terlalu terjal sedang beban terlampau berat. Namun jika kita andaikan lintasan itu sama sempurna, mungkinkah kita mengimbangi mereka?atau bahkan lebih baik dari mereka? Nampaknya dari sini kita bisa membuktikan, bahwa kekalahan itu menjadi bahan bakar semangat kita.

Jika pemikiranku yang kedua, mungkin aku teringat dengar Dosen Ilmu Alam ku. Mereka yang tak mau berkembang, tak mempunyai semangat, adalah orang yang sudah diluar garis normal. Sebab, dalam diri manusia telah tertanam rasa ingin tahu yang tinggi, dan itulah yang membedakan antara manusia dengan hewan.
Atau mungkin juga, ia terlampau banyak mendapat kegagalan yang selalu terulang. Tapi agaknya itu sangat tidak mungkin. Kenapa? Ya, karena setiap kegagalan adalah pengalaman, dan naluri manusia tak mungkin menerima hal yang buruk terulang begitu saja.

Bangsa Indonesia, terjajah sudah 350 tahun. Bukan waktu yang singkat, terlebih Indonesia—seperti apa yang kita katakan tadi—berada dalam lintasan yang tak sempurna. Kini, Indonesia telah merdeka, ia sudah melewati masa-masa yang mungkin tidak semua bangsa memiliki, itulah masa”menerangkan” kegelapan. Jika Indonesia masih gelap, maka perlu dipertanyakan tugas Tuan-tuan yang terhormat itu!!!
[..]

Selasa, 12 Oktober 2010

Untukmu Orangtua

Malam ini, nampaknya bulan bersinar enggan
Aku, masih membisu dalam gelisah
Tapi bagaimana? Dengan jiwaku yang terhempas
Menyusuri lorong2 gelap..

Terkadang aku ragu
Tapi, ah, lagi kau ingatkanku
Dalam keadaan galau, kau membayang di hadapan
Kemudian kau meremang..

Benar, jika aku masih diam
Tapi batin ini masih bergemuruh hebat
Melihat dan merasa hidup dalam rimba.
Keras!! Ya, memang tak ada kasihan,,

Tapi sekali lagi, aku masih mengingatmu
Harapanmu masih kugenggam erat
Rindumu masih kusimpan rapih
Diantara hati dan jantung ini,,,,
[..]

Senin, 11 Oktober 2010

Jiwa

“Ah, guru itu membosankan, dia terlalu bertele-tele” kata seorang murid ketika sedang asyik berbincang dengan teman sekelasnya. “Pak Anu sangat menyenangkan jika mengajar, dia baik tetapi tegas” kata seorang murid lainnya yang juga sama-sama ngobrol. Dan sudah menjadi hal yang lazim jika seorang murid membicarakan seorang guru perihal cara ia mengajar, atau tentang kebiasaan seorang guru, yang diam-diam merangsang murid untuk “menilai”.

Ketika kita berada dalam angkutan umum, acapkali kita mendengar teman-teman membicarakan guru. Atau ketika sedang berada di kantin, obrolan pun mencuat dengan sendirinya; obrolan tentang situasi di dalam kelas. Kita dan mereka, terkadang telah tersihir dengan cara seorang guru mengajar. Kita, akan merasa senang jika sang guru itu baik; tidak suka marah, mudah memberikan nilai.

Sebaliknya, kita akan merasa malas jika seorang guru terlalu membosankan; tidak pernah senyum, sulit memberikan nilai, banyak tugas. Walaupun guru itu—yang kita anggap membosankan—sebenarnya sangat lugas dan cakap dalam mengajar. Hanya karena alasan yang tidak menguntungkan, kita tak berpikir panjang lagi untuk mengatakan ”Pak Anu gag pengertian, dia sering ngasih tugas”.

Mungkin, cara pandang seorang pengajar dengan seorang yang diajar berbeda. Di satu sisi, seorang pengajar menginginkan mereka yang diajar mampu dan cakap dalam mencerna ilmu; walau terkadang seorang guru terlalu memaksakan kehendak. Sisi lain, mereka yang diajar menginginkan apa yang menurutnya tidak membebani mereka. Hal ini, terkadang menimbulkan salah tafsir yang berakibat pada efektifitas pembelajaran.

Tapi agaknya kita luput dengan satu hal, yaitu jiwa kita—rohani. Kita tak pernah tahu batin seorang guru seperti apa, apakah ia sedang kalut ataukah bahagia. Sebaliknya, guru tak pernah tahu apa yang dirasakan seorang murid, apalagi murid yang begitu banyaknya; satu kelas, atau bahkan beberapa kelas. Maka, kita dipaksa untuk menyesuaikan batin kita ketika masuk dalam kelas.

Tak banyak pendekatan secara emosional dilakukan dalam pembelajaran. Mereka, seorang guru hanya memainkan peran sebagai “pentransfer”. Sedang seorang murid pun memainkan peran yang lebih konyol lagi, ia merasa menjadi benda mati yang diombang –ambingkan si pemakai—guru. Sehingga, seberapa baiknya “transaksi” itu, ia hanyalah sesuatu yang canggung.

Padahal pendekatan emosional adalah cara yang paling efektif dalam pembelajaran. Guru, bukan lagi sebagai pengajar yang memindahkan ilmu kepada si murid. Namun guru adalah pendidik yang mampu membidik muridnya untuk menjadi lebih baik, tentu ada kenyamanan. Sehingga kerap kali kita mendengar celoteh seorang murid yang ditujukan kepada guru. Jika guru itu baik—secara emosional, maka seorang murid pun merasa senang dengannya, meski mata pelajarnnya susah.

Itulah mengapa kita diharuskan sekolah secara formal, sebab hal itulah yang menjadi dasar antara mereka yang sekolah dengan yang tidak sekolah. Kita, diajarkan untuk mengetahui ilmu, namun kita juga mendapat sentuhan rohani dari seorang guru; sehingga kita mengerti untuk apa ilmu itu, dan untuk apa kita mempelajarinya.

Maka lahirlah generasi yang disebut “Kaum Intelektual”, di sini artinya adalah orang-orang yang terdidik. Seorang bisa dikatakan intelektual, jika ia mampu memberikan ilmu itu secara baik kepada orang lain. Seorang guru, bisa dikatakan intelektual jika ia bisa memberikan ilmu yang dimilikinya kepada murid dengan baik. Artinya, sesuatu yang esensial itu bisa terjangkau; sesuatu yang dasar dari ilmu itu bisa didapatkan.

Dari pengajaran seperti itu, kita akan menemukan siklus pendidikan. Dengan kata lain, kita bisa mengaplikasikan ilmu itu dengan tepat guna. Ilmu yang kita dapat akan bisa tercurah untuk masyarakat, untuk bangsa ini. Dan pada akhirnya, kita telah mengabdi kepada bangsa. Sebab, berpendidikan adalah sebuah pengabdian.

Tentu pengabdian itu didasarkan pada jiwa, pada batin kita. Karena dalam pendidikan itu sendiri telah mengandung pengajaran emosional. Sebab—seperti apa yang dianjurkan Ki Hajar Dewantara, pendidikan haruslah mengandung nilai “Tut Wuri Handayani” yang artinya adalah; dari belakang kita/guru memberi daya-semangat dan dorongan bagi murid.
[..]

Senin, 04 Oktober 2010

Uang

Kita mungkin ingat tentang barter —tukar menukar barang. Dan hal itu berlangsung semenjak ribuan tahun yang lalu, hingga pada akhirnya orang pun merasa; bahwa dengan cara “menukar” itu sangatlah susah. Lalu di Romawi, dijadikanlah garam untuk alat penukar, karena dianggap memiliki nilai yang tinggi. Orang Inggris menyebut upah sebagai salary; berasal dari bahasa latin salarium yang berarti garam. Dan dengan berjalannya waktu, orang mulai berpikir membuat logam dan emas sebagai alat penukar yang dinamakan uang. Dan yang terakhir adalah munculnya uang kertas.

Begitulah nampaknya sejarah uang, sebuah benda kecil yang sangat bernilai untuk manusia. Bahkan, perkembangan uang pun telah mengikis jaman berhala. Karena apa? Karena uang kini tak lain adalah tuhan yang begitu dipuja banyak orang. Mungkin kita tidak menyadari, namun diam-diam kita telah menempatkan uang itu dalam ruang yang berbeda. Pada akhirnya, uang telah menjelma menjadi berhala kontemporer.

Sejarah penjajahan di Indonesia, tak bisa dilepaskan dari uang itu sendiri. Kedatangan bangsa asing di Indonesia yang diawali dengan misi perdagangan –kekayaan, berubah menjadi kolonisasi. Dan pada akhirnya, rakyat Indonesia mengalami jaman pembodohan; pembodohan kekayaan, moral, hingga pembodohan mentalitas. Kita pun tahu, pembesar pribumi yang diharapkan bisa membela rakyat jelata, telah buta karena harta dan tahta.

Agaknya, di masa kini pun hal itu masih berlangsung. Uang telah menjadi alat pertukaran sebuah jabatan, kasus suap-menyuap pun banyak terjadi. Kita lihat saja para calon anggota dewan, atau para calon elit politik; dalam kampanye mereka harus mengeluarkan begitu banyak uang yang tak lazim pada umumnya. Seolah-olah uang telah menjadi privilese untuk memperoleh sesuatu dengan mudah.

Jika kita berbicara tentang uang, maka tak pernah habislah permasalahan dan pertanyaan yang akan muncul. Namun yang perlu kita ketahui, uang telah berubah menjadi alat tukar harga diri; harga diri manusia telah tergadai di jalan-jalan, di pasar, bahkan di masjid sekalipun. Lalu, seberapakah kedudukan uang di mata manusia? Dan akhirnya kita tahu, bahwa uang bukan hanya alat untuk menukar barang lagi, namun uang telah menjadi apa yang tidak seharusnya dijadikan dengan uang itu.

Tak bisa kita bayangkan bila tak ada uang, karena uang telah menjadi sebuah “alasan”. Ketika seorang pelacur harus menjaja tubuhnya di pinggir jalan, ia hanya menjawab”saya butuh uang”. Atau, orangtua yang tidak bisa menyekolahkan anaknya; ia hanya beralasan karena uang. Bahkan orang dalam keadaan sakit parah pun tidak segera untuk di bawa ke rumah sakit, karena apa? Lagi-lagi adalah karena uang.

Dan segala alasan itu adalah karena uang. Bagaimanakah dengan negara? Ya, negara tak lain adalah sebuah pasar yang menawarkan barang ataupun jasa, yang semua harus dibayar dengan uang.
[..]

Sabtu, 02 Oktober 2010

Gadis Pantai; sebuah rangkuman. Pramoedya Ananta Toer

Keceriaannya hilang, hari-harinya yang telah terbiasa bebas bergumul dengan laut dan ombak, tiba-tiba harus segera ditinggalkan. Gadis pantai tumbuh di kampung nelayan Jawa Tengah, Rembang tepatnya. Namun setelah ia beranjak dewasa, seorang Bendoro; priyayi, datang mengambilnya untuk diperistri. Gadis pantai berontak, tapi orangtuanya bersikeras untuk menerima perkawinan itu. Karena hal itu dianggapnya akan mendatangkan prestise baginya, Gadis pantai pun mengikuti apa keinginan orangtuanya

Rumah itu megah, sangat megah untuk ukuran pribumi. Ia hanya bertugas untuk mengabdi kepada Bendoro, tidak untuk bekerja, ia hanya menunjuk dan memerintah kepada bujangnya; pembantunya. Dan sebagai wanita utama, ia dipanggil oleh bujangnya dengan sebutan “Mas Nganten”.

Awalnya ia kikuk dengan suasana rumah itu, karena semuanya sangat berbeda dengan keadaan di kampung halamannya. Tapi hal itu tak berlangsung lama, seorang wanita tua telah membimbingnya untuk menjadi wanita utama yang baik. Wanita tua itu tak lain adalah bujangnya, yang bertugas untuk mengabdi kepada bendoronya. Dan Gadis pantai mulai mengerti, ia bertugas untuk mengabdi kepada Bendoro, bendoro bujangnya juga.

Malam itu, Bendoro datang ke kamarnya. Gadis pantai dengan gugup menyambutnya, ia lakukan apa saja yang telah diajarkan oleh wanita tua itu. Dan Gadis pantai begitu tertegun, karena Bendoro tidak seperti apa yang dibayangkan sebelumnya olehnya. Ia sangat lembut, sopan, dan tahu akan agama serta hadist pula. Sedang Gadis pantai? Agama baginya adalah hal yang sangat suci; saking sucinya, sampai ia tak berani mempelajarinya. Suasana hening, dan malam itu adalah malam pertama ia tidur bersama Bendoro.

Hari-harinya kini digunakan untuk mengatur rumah, belajar mengaji bersama Bendoro, dan belajar membatik. Namun wanita tua itu selalu setia menemaninya, sampai Gadis pantai hendak tidur pun ia harus “mendongeng” hingga Gadis pantai terlelap. Terkadang wanita tua itu kehabisan ceritera, dan kemudian ia menggantinya dengan pengalaman hidupnya. Hidupnya yang keras, dan tak sadar, wanita tua itu telah mengingatkan ketakutan Gadis pantai; cemburu.

Suatu ketika, Gadis pantai meminta bantuan orang-orang di rumah untuk membantunya membenahi kamarnya, termasuk kerabat Bendoro; pemuda-pemuda kerabat Bendoro yang dititipkan kepada Bendoro untuk belajar. Setelah semuanya selesai dan kembali seperti semula, Gadis pantai menyadari bahwa dompetnya hilang yang ditaruh di laci.

Gadis pantai bergegas untuk menjelaskan kepada wanita tua itu, tak lama kemudian wanita tua itu memanggil orang-orang yang tadi membantunya. Semua tidak mengaku, dan tiba-tiba wanita tua itu menunjuk ke arah kerabat Bendoro, dan mereka pun saling tuduh menuduh. Akhirnya wanita tua itu bergegas mengadukan ke Bendoro, karena jika uang itu tak juga ketemu, maka seisi rumah esok hari tak makan. Namun kerabat Bendoro tak takut sedikitpun dengan pengaduan itu; karena mereka tahu siapa yang bakal diusir dari rumah.

Tak lama setelah Gadis pantai dan wanita tua itu menghadap Bendoro, seisi rumah pun telah berada di hadapan Bendoro. Dan mereka melakukan sembah kepada Bendoro, kecuali kerabat Bendoro. Ditanyainya satu persatu mereka yang ada dihadapan Bendoro, dan Bendoro tercengang marah. Satu kerabat Bendoro, diusir karena diduga ia yang mengambil uang Gadis pantai. Tak selesai sampai di situ, wanita tua itu pun ikut diusir; karena ia dianggap lancang telah berani melapor kepada Bendoro.

Kini, Gadis pantai merasa sepi. Tak ada lagi yang memberi wejangan serta dongeng kepadanya, ia merasa sendiri, dan kembali ia menyadari semuanya; ia hanyalah bertugas untuk mengabdi kepada Bendoro. Hari-harinya diisi dengan lamunan, namun ia harus tetap tersenyum ketika Bendoro datang padanya. Hingga Bendoro menanyainya perihal orangtua Gadis pantai; rindukah ia dengan orangtuanya?

Dan pagi itu, seorang wanita masuk tanpa permisi ke kamarnya. Ia sangat pongah, tak seperti wanita tua yang selalu menghormati Gadis pantai. Ia adalah Mardinah, seseoarang dari Demak yang dikirim ke Rembang untuk membantu Bendoro; ia masih kerabat jauh Bendoro. Mardinah menggantikan wanita tua itu, Gadis pantai tak suka dengan sikapnya yang kurang ajar kepadanya. Hingga gadis pantai sengaja tak mengajak bicara Mardinah, ia bersikap sangat diam. Pada akhirnya, Bendoro menawarkan Gadis pantai berkunjung ke rumah orangtuanya, karena melihat Gadis pantai nampak murung akhir-akhir ini.

Gadis pantai pergi menuju kampung nelayan ditemani Mardinah serta seorang kusir; membawa oleh-oleh dari kota untuk orangtua Gadis pantai. Awalnya Gadis pantai menolak untuk ditemani Mardinah, tapi karena Bendoro mendesaknya, akhirnya Gadis pantai hanya bisa menerima. Kedatangannya disambut oleh seluruh kampung nelayan. Dan Gadis pantai merasa, bahwa semua perlakuan penduduk di kampungnya telah berubah; mereka begitu menghormati Gadis pantai, lantaran ia seorang istri pembesar dan memakai banyak perhiasan pula.

Sehari sudah ia berada di kampung nelayan, ia merasa tubuhnya begitu letih. Seorang wanita tua bernama Mak Pin; Mak Pincang, telah memijitnya. Namun dirasainya agak aneh wanita tua itu, dan tak lama, semua orang tahu bahwa Mak Pin adalah seorang lelaki; bajak. Seluruh warga mengejarnya, dan setelah tertangkap ia dibuang ke laut. Mardikun nama orang itu, dan diam-diam Gadis pantai curiga bahwa ia ada kaitannya dengan Mardinah; berasal dari Demak dan menggunakan nama “Mardi”.

Keesokan harinya, Mardinah ingin segera pulang. Tapi Bapak Gadis pantai telah menangkap kejanggalan itu. Bapak tetap mendesak dan menakut-nakuti Mardinah agar ia menjelaskan semua yang telah terjadi sebenarnya. Benar, ternyata Mardinah ada kaitannya dengan Mardikun. Ia dikirim dari Demak untuk menyingkirkan Gadis pantai dari Bendoro. Dan akhirnya Mardinah dihukum oleh warga; ia ditempatkan bersama Si Dull gendeng (seorang pemuda yang tak waras) yang tak beristri. Tapi akhirnya mereka menjadi saling jatuh cinta, dan menikahlah mereka.

Singkat cerita, Gadis pantai telah kembali ke kota. Tapi dirasainya kini Bendoro sikapnya telah berubah kepadanya. Bendoro sudah tidak pernah berkunjung ke kamarnya. Bahkan Bendoro sudah berkata kasar kepada Gadis pantai. Dan berbulan-bulan lamanya, akhirnya Gadis pantai telah mengandung, ia berharap Bendoro datang menjenguknya. Namun setelah Gadis pantai melahirkan pun Bendoro tak kunjung datang walaupun satu rumah. Setelah tiga hari, Bendoro datang ke kamarnya, tapi Bendoro bergegas pergi; setelah diketahui bahwa bayi yang dilahirkan Gadis pantai bukanlah lelaki.

Tak lama, bapak Gadis pantai datang menemui Bendoro atas undangannya. Bapak sangat senang, mengetahui dirinya telah mempunyai seorang cucu; keturunan seorang priyayi. Namun ternyata hari itu hari yang sangat menyakitkan. Gadis pantai dicerai! Ya, dicerai oleh Bendoro. Tak tahu apa alasan Bendoro, padahal dirasainya tidak ada masalah sedikitpun ia dengan Bendoro.

Hari itu juga, Gadis pantai meninggalkan gedung batu itu, ia ingin membawa anak itu hidup di kampung nelayan. Bendoro tidak mengizinkan keinginannya, akhirnya Gadis pantai menyerahkan bayi itu pada Bendoro; ayahnya. Tapi tak di sentuh juga oleh Bendoro. Gadis pantai berontak, dan baru kali ini ia berontak terhadap Bendoro. Hingga akhirnya ia di usir dan dipukul oleh Bendoro. Ia menangis, dan ia berdarah-darah.

Gadis pantai dan bapak pergi untuk selamanya dari rumah Bendoro. Belum sampai di kampung nelayan, ia minta izin dan ampun kepada bapaknya; ia ingin pergi, ia tak bisa membayangkan apa kata orang-orang terhadapnya, kepada ibunya ia hanya bertitip pesan. Dan Gadis pantai pun pergi, ia mencoba mencari wanita tua yang dulu melayaninya. Di Blora, tempat wanita tua itu.

Beberapa hari setelah kepergiannya, sering terlihat sebuah dokar berhenti di pelataran rumah Bendoro. Dari tirai dokar, nampak seorang wanita mengintip dengan pandangan mata “mencari” ke rumah Bendoro. Namun tak lama, dokar itu tak nampak lagi.

[..]