Senin, 27 Desember 2010

Paradoks

Dosakah yang dia kerjakan..
Sucikah mereka yang datang..
Saya mengenang kalimat itu, sebuah sajak lagu dari Titiek Puspa, Kupu-Kupu Malam. Tapi ia hanya sebuah sajak, hanya dilantunkan dengan iringan musik dan orang menikmatinya. Tentu, menikmati cengkok lembut penyanyi, tapi mencampakkan makna lagu itu.

Ini adalah sebuah manifestasi pengarang yang, secara tidak langsung menusuk khalayak. Kata “dosa” yang ditujukan kepada “kupu malam” dibuatnya menjadi pertanyaan. Pun sama halnya dengan kata “suci” yang ditujukan kepada “yang datang”. Pertanyaan tentang sebuah kebenaran yang absah; Adakah dosa itu? Adakah suci itu?

Orang lupa bahwa ternyata paradoks sangat lekat kaitannya dengan kehidupan ini. Apa yang menurut khalayak adalah salah, ternyata belum tentu bagi sebagian orang adalah salah. Manusia selalu ingin menggolongkan, menyisihkan, mempertautkan, agar apa yang ada di masyarakat bisa dengan mudah untuk dinilai.

Tetapi, seberapapun kuat usaha manusia melakukan itu, pada akhirnya mengalami kerancuan yang tiba-tiba saja menyentak. Boleh jadi seseorang digolongkan lebih dari satu identitas, dan dari identitas yang berbeda itu ternyata saling bertolak belakang.

Singkatnya, manusia tidak mudah untuk digolongkan. Tapi terkadang kita lalai dengan hal yang seperti ini. Kita bisa saja dengan mudah menilai seseorang dan menggolongkannya pada golongan tertentu. Kemudian dengan mudah menebak identitas.

Hal ini sudah terjadi sejak lama pada kehidupan feodalisme dan kehidupan perkastaan. Maka yang terjadi adalah kesewenang-wenangan, nilai kemanusiaan terlupakan. Orang dilihat tinggi rendahnya derajat hanya karena sebuah penggolongan; si jelata lebih rendah derajatnya ketimbang si bangsawan atau si Paria lebih rendah dari Brahmana.

Kita bisa renungkan bagaimana manusia harus menyembah kepada sesama manusia, merangkak di hadapan sesamanya. Yang jelata menggigil mengatakan sesuatu, sedang yang diajak bicara hanya mengucap beberapa kata saja atau hanya mengangguk dan menggelengkan kepala.

Bila dipertautkan antara kehidupan wanita malam dengan kehidupan bangsawan, bukan tidak mungkin terjadi persamaan. Bukankah budaya pergundikan dan perseliran sama halnya dengan pelacuran? Namun kenapa hal tersebut dianggap sah?

Tapi kehidupan ini tidak sempit, banyak sekali kejadian seperti ini terjadi pada masyarakat kita. Bahkan, dalam masyarakat yang menggolongkan dirinya sebagai masyarakat yang beragama, ternyata sangat bertolak belakang dengan perbuatannya.

Padahal, manusia yang lebih tinggi derajatnya adalah manusia yang mengerti benar tentang kemanusian. Bukan legitimasi masyarakat tentang kedudukan, atau tentang kasta yang ada di kehidupan sosial.

Maka saya pun ikut merenung bersama Kupu-kupu malam.
osakah ia?
Sucikah mereka?
[..]

Jumat, 24 Desember 2010

Di Seberang Kali Bekasi

Malam kian pekat, dingin menusuk-nusuk tulang belulang yang kian merapuh. Yang masih hidup akan segera tumbang dan yang sudah tumbang akan segera lapuk. Tulang belulang berserakan, kata Chairil dalam sajaknya. Tapi mereka manusia terjajah, tak bisa membaca apalagi memahami sebuah prosa. Mereka hanya mendengar dari mulut ke mulut atau menyaksikan sendiri tragedi ini. Ah, Rawagede! Siapa pula akan mengenang, kampung di seberang kali sana.

Kali Bekasi menjadi tapal batas kengerian hidup, hidup yang sudah mengerikan dan tambah pula menghibakan. Kita yang di sini adalah penghianat, begitulah orang di seberang sana mencaci. Tapi kita bukan penghianat, yang penghianat adalah mereka yang menjual revolusi, mereka yang ingin mengenakan pakaian dan makan. Tapi yang di seberang sana juga manusia, butuh pakaian juga makanan. Tidak, tidak. Kita bukan penghianat.

Kita dulu adalah orang-orang yang di seberang sana, di pangkal perjuangan Indonesia. Kita adalah yang terhuyung-huyung terkena peluru panas, tersengat panasnya meriam yang setiap waktu mengancam kampung di seberang sana. Malam menjadi siang dan siang menjadi malam. Siang untuk melepas lelah malam untuk bekerja. Bekerja untuk revolusi, untuk tanah air tercinta ini.

Tidak, tidak. Aku masih ingat, kita tak pernah bisa melepas lelah apalagi tidur. Kita bekerja, siang untuk mengguris makan, malam untuk menjaga nyawa. Bayi-bayi dibungkam untuk tidak menangis walaupun perut si bayi lapar. Tapi kita orang yang sembunyi dalam rumah sendiri, orang yang akan di usir dari kampungnya sendiri.

Hari demi hari hidup dililit ketakutan, hidup dalam rimbanya penjajahan tanpa kemanusiaan. Tapi waktu memang membuat lelah seperti mereka yang akhirnya lelah pada ketakutanya sendiri. Apa gunanya pula takut pada kematian bila akhirnya yang takut pun akan mati. Yang berani pun akhirnya mati. Maka ketakutan bukanlah pelindung dari kematian, ketakutan tak mengubah kekejaman.

Mereka yang di seberang kali sana bertelanjang dada. Para pemuda yang masih benar-benar muda dipaksa untuk berjuang. Bukan orang yang memaksa, tapi keadaanlah yang mengubah mereka manjadi cepat masak tambah melesak. Itulah masa ketika yang muda dituakan dan yang tua dimudakan. Semua, semua harus ikut berjuang. Yang sudah tidak bisa lagi dituakan atau dimudakan, mereka pun berjuang untuk menolong dan membohongi kontrolir keji itu.

Jakarta telah jatuh, tapi yang di seberang sana belum juga jatuh. Dan jika di seberang sana jatuh, maka yang di belakangnya pun ikut jatuh, semua akan jatuh. Mereka itulah pangkal perjuangan, maka merekalah yang akan diserang terlebih dahulu biar bisa menguasai semua-mua tanah air kita. Mereka masih haus darah setelah menumpas tentara Jepang di kali Bekasi. Air menjadi darah yang mengalirkan mayat-mayat tentara Jepang yang masih kepengin hidup. Tidak ada ampun. Penjajah harus angkat kaki.

Tapi si Kulit Putih makin terang saja nampaknya, makin kelihatan pula serakahnya. Mereka tak mau diam, yang diam maka berarti mati dan yang mati akan diam terus. Jadi mereka tidak diam, karena diam adalah kematian. Semua, semua tidak diam. Semua akan ikut berjuang.

Mereka yang belum juga masak dan sudah begitu renta akhirnya harus menghadapi kekejaman. Mereka dibariskan di pelataran, kemudian mereka di periksa, dimaki, diperlakukan bukan sebagai manusia. Senapan dilepaskan, meriam digulirkan. Meledak! Ya, meledak. Orang-orang itu ikut meledak dan tergeletak di tanah. Tapi mereka terhormat, mereka roboh di pangkal perjuangan bangsa ini.

Lantas siapa pula kita ini yang telah berdiri di seberang kematian mereka? Kita pun ikut berkabung, untuk mereka yang kini telah hidup di dunia tanpa penjajahan.
[..]

Selasa, 21 Desember 2010

Ada

Aku berpikir maka kau ada
Aku hanya mengenalmu dari pikiranku
Semua, semua kuketahui kau
Dari hasil olah otakku..

Aku akan bermimpi, terus bermimpi
Jika aku tak berpikir tentangmu, maka kau lenyap
Ya, kau akan remuk dalam peredaranku
Kau ada karena aku berpikir tentangmu..

Lalu kau berbisik padaku;
“Bukan pikiranmu yang menentukan aku”.
Kau pun mengusap tanganku dan berkata;
“Aku dan kau itu nyata, bukan mimpi”..
[..]

Senin, 20 Desember 2010

Angan

kau adalah pikiranku
kubangunkan kau dalam anganku
kutumpuk serpihan-serpihan wajahmu
kau tumbuh dalam imajinasiku..

tapi itu masa lalu
kemudian kau muncul menjadi nyata
kau menghilang lagi
aku mengenalmu di antara mimpi dan kenyataan..

ketika serpihan bayang terkumpul menjadi kenyataan
engkau runtuh kembali tanpa bentuk
kemudian kubangunkan lagi kau dalam anganku
ah, kali ini aku tak berhasil..
kau remuk....
[..]

Kamis, 16 Desember 2010

Romusha Banten Bersama Tan Malaka

Saya bisa bayangkan, pena merayap di atas kertas, di bawah sayap pesawat Jepang yang setiap hari mendengungkan kecerobohannya di atas sebuah gubuk.Ia tulis sebuah kitab yang mengagumkan, setelah 20 tahun lebih mengembara di negeri orang. Madilog, begitulah ia menamakannya. Sejak tahun 1942 ia menghimpun ingatannya tentang ihwal yang telah ia pelajari di negeri nun jauh di sana.

Ia dalam gelisah. Setiap kali gesekan sepatu terdengar, ia sembunyikan kitabnya itu di tempat yang tidak menarik perhatian. Sesaat kemudian, seorang polisi Jepang memporak-porandakan seisi rumah. Ia memang pintar dan berpengalaman; berpengalaman menjadi bulan-bulanan. Ia menghembuskan nafasnya dengan lepas mengenang kepergian polisi itu.

Saya bisa merasakan betapa sulitnya hidup ketika uang telah menipis. Apalagi dalam beberapa bulan tidak bekerja, sedang perut tak pernah kenal kompromi. Itulah yang ia rasakan, tercekik dalam hidup yang pelik. Ia lamar pekerjaan di Tambang Arang Bayah pada pertengahan 1943. Ia diterima bukan sebagai romusha, melainkan seorang juru tulis dengan nama samaran Ilyas Hussein. Madilog ikut berlindung dengannya.

Namun saya rasa ia tidak hanya mencari nafkah dan berlindung dari kejaran polisi. Kita tahu, Banten adalah pusat berkumpulnya romusha dari berbagai daerah di Jawa. Ada tindakan eksploitasi manusia yang mengerikan di dalamnya. Ia menelisik, menusuk dalam kehidupan kaum proletar itu. Akhirnya ia bisa saksikan, ketika manusia menjadi seperti tulang-belulang yang rapuh.

Kerap kali kakinya ia langkahkan ke tempat yang menyeramkan, masuk ke pelosok menyaksikan kehidupan yang sangsi. Wabah mengganas di tempat yang ia kunjungi, segala penyakit menjangkit hebat. Tentara Jepang takut mengunjungi daerah kecil itu, mereka lebih takut dengan penyakit ketimbang panasnya api senapan. Akhirnya ia tahu, kelaparan adalah penyebab utama kematian para romusha di Pulo Manuk—nama tempat itu.

“Kita dapat mempraktekkan rasa tanggungjawab terhadap golongan bangsa Indonesia yang menjadi korban militerisme Jepang.” Ucapnya suatu ketika. Ia masuki lorong-lorong para romusha, memberikan nasihat akan pentingnya kesehatan. Ketika ia ditugaskan untuk mendata pekerja, ia menemukan bahwa dalam setiap bulan 300-400 mati kelaparan. Ia dikenal sebagai kerani yang baik hati.

Saya bayangkan dengan hati yang miris. Pekerja hanya diberi beras 250 perhari dan 40 sen yang hanya bisa untuk membeli satu buah pisang. Tentu kelaparan tak bisa dielakkan lagi, menjadi semakin ganas menggerogoti jiwa-jiwa yang terampas. Romusha menjadi hamba negeri-negeri asing yang datang sebagai dewa maut. Semakin jelas, rakyat menjadi budak di antara bangsa dan budak bagi bangsa-bangsa lain.

Ia tidak diam, ia merasakan dan melaksanakan. Para pemuda ia himpun untuk mendirikan dapur umum yang menyediakan makanan untuk seribu romusha. Mereka bangun rumah sakit di sekitar pinggiran Bayah, juga membuka kebun sayur dan buah-buahan di daerah yang dekat dengan Bayah. Jelas, ia menginginkan kesehatan para romusha.

Kita tahu, romusha adalah sebuah bentuk dukungan kepada Jepang agar Indonesia kelak dihadiahi dengan kemerdekaan. Bung Karno adalah orang yang punya dosa besar dalam keadaan ini. Bung Karno yang menyetujui bentuk kerja itu, bahkan ia sendiri yang merayu masa untuk menjadi romusha.

Namun, katanya mengutuki diri “Dalam setiap perang ada korban. Tugas dari seorang Panglima adalah untuk memenangkan perang, sekalipun akan mengalami kekalahan dalam beberapa pertempuran di jalan. Andaikata saya terpaksa mengorbankan ribuan jiwa demi menyelamatkan jutaan orang, saya akan lakukan. Kita berada dalam suatu perjuangan untuk hidup….” Ia bertujuan baik. Tak hanya itu, ia berani.

Suatu ketika Bung Karno dan Bung Hatta datang ke Bayah pada akhir 1944. Bung Karno berpidato, bersama Jepang kita akan mengalahkan sekutu dan kemudian mencapai kemerdekaan. Bung Karno meminta agar romusha berjuang meningkatkan produksi batu bara.

Sesi pertanyaan dibuka. Beberapa penanya angkat bicara, namun mereka hanya mendapat cibiran dari moderator. Akhirnya ia bertanya; apakah tidak lebih tepat jika kemerdekaan Indonesialah yang seharusnya lebih menjamin kemerdekaan terakhir? Ia menginginkan jika Indonesia merdeka sepenuhnya. Bung Karno jengkel. Konon, Bung Karno tidak pernah didebat ketika berpidato di seluruh Jawa.

Awal Juni 1945 ia pergi ke Jakarta untuk untuk membicarakan kemerdekaan, ia datang tetap dengan nama samaran. Pertemuan itu dilakukan untuk mempersatukan para pemuda Jawa. Namun pertemuan itu tidak berlangsung karena tentara Jepang membubarkan.

Ia kembali ke Bayah. Tak lama, ia berpindah tugas di kantor pusat dan bertugas mencatat data tentang romusha. Jepang berencana akan mengurangi jatah ransum untuk romusha, dialah orang yang menentang keras rencana itu. Ia berorasi di muka umum agar romusha tidak dipotong jatah ransumnya. Dampaknya luar biasa, kerusuhan terjadi, romusha mogok dan banyak melarikan diri. Sejak itu, ia diburu-buru Kamptei Jepang(polisi militer).

Saya rasa tidak benar jika ia tidak bisa menggalang masa, ia punya cara sendiri untuk menyelami rakyat bangsanya.

Hingga Indonesia memproklamasikan diri, ia adalah orang yang berperan penting di balik semua itu.
[..]

Selasa, 14 Desember 2010

Jejak Langkah; Pramoedya Ananta Toer

Akhirnya ia pun pasrah, seorang agen polisi menangkapnya dengan segan. Ternyata hukum memang milik penguasa, yang kuat berbuat sekehendaknya. Bila Sang Penguasa terusik, ia hanya berbisik kepada anak buahnya untuk bertindak. Maka, yang lemah akan semakin terbungkuk-bungkuk terkena injakkan yang kuat.

Minke (R.M Tirto Adhi Soerjo); Sang Pencerah. Ia orang pertama yang menerbitkan surat kabar Melayu di Hindia Belanda pada 1907 di Bandung. “Medan Priyayi” namanya. Ia gunakan “Medan” untuk melakukan propaganda, menyuarakan organisasi lewat media. Orang berbondong-bondong meminta bantuannya, meminta perlindungan atas kekejaman para penguasa—baik Belanda maupun pribumi.

Pramoedya Ananta Toer melukiskannya dengan cermat. Menggunakan tutur “aku”, ia berhasil menyelami segi-segi pelik dari kehidupan Minke. Kita tahu, Roman itu lahir di tempat yang paling purba bagi Pram; Pulau Buru. Dalam keadaan “terasing”, Pram menuliskannya penuh gairah. Pram berhasil.

Boleh dibilang, dari keempat romannya, yang tergabung dalam Tetralogi Pulau Buru (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, Rumah Kaca), roman ke-tigalah yang memulai kehidupan sebenarnya seorang Minke. Pada roman pertama dan ke dua, ia hanya sebuah fase kegelisahan—pencarian jati diri. Pada roman ke-tiga—Jejak Langkah—inilah, Minke dimunculkan sebagai sosok perkasa.

Ia terlibat pada pergerakan awal di Hindia. Orang menyebutnya Kebangkitan Nasional. Oraganisasi mulai tumbuh, kaum terpelajar dilecut melakukan perlawanan secara modern terhadap Belanda. Pada mulanya, “Sarekat Priyayi” didirikan. Karena hanya beranggotakan para piyayi saja, akhirnya organisasi itu redup. Tapi sarekat berhasil mendirikan media, inilah yang menjadi cikal bakal “Medan”.

Tak lama, berdirilah Organisasi Modern pertama di Hindia; Boedi Oetomo. Organisasi ini berawal dari sekolah dokter di Batavia. Boedi Oetomo pun menjadi oraganisasi besar, ia berhasil merekrut pembesar-pembesar di Jawa. B.O mendapat sokongan dana yang tak sedikit, ia resmi diakui Pemerintah Belanda. Sayang, organisasi ini hanya untuk orang Jawa, dan ia berpihak pada para pembesar dan Gubermen yang dalam Jejak Langkah digambarkan sebagai “alat” para pembesar—banyak kepentingan di dalamnya.

Minke tak sejalur dengan B.O. Ia merasa, B.O mulai dikendalikan pembesar-pembesar pribumi, sehingga kaum muda yang seharusnya ambil peranan justru terpasung kebebasannya. Kemudian Minke membentuk SDI (Sareket Dagang Islam). Berangkat dari pengalaman “Sarekat Priyayi”, maka anggotanya tak hanya dari kalangan priyayi, melainkan para orang bebas; Dagang.

Peristiwa ini terjadi pascaperalihan abad 18 menuju 19. Inilah masa “kebangkitan”. Di mana para terpelajar sadar persatuan, masa ketika nasionalisme mulai digodok. Bukan hanya itu, masa ini adalah awal mula dunia modern tumbuh. Redupnya perang Aceh dan Jawa, ternyata menghabiskan biaya yang begitu besar bagi Belanda. Menyadari itu, Belanda melakukan “Politik Etiek” guna memanfaatkan terpelajar pribumi—mengibarkan panji-panji liberal.

Kita tentu tahu Kartini, seorang terpelajar dari Jepara. Pada masa ini ia tumbuh. Maka tak heran jika ia digambarkan sebagai sosok “pendobrak” dunia modern. Sebenarnya, ia lahir pun dari politik etiek ini. Belanda membebaskan pemuda pribumi bersekolah, dengan alasan balas budi. Namun sebenarnya, nantinya terpelajar ini dibekukan di kantor-kantor pemerintahan.

Setelah Kartini meninggal, Mr J.H Abendanon, seorang Belanda, menerbitkan surat-suratnya dalam sebuah buku; Belanda ingin menunjukkan kepada dunia, ia berhasil mencerdaskan pribumi. Surat-surat ini pun hanya berupa pujian terhadap Belanda, padahal banyak sekali surat “keras” Kartini yang tersebar kepada orang-orang terdekatnya, juga kepada kaum sebangsanya yang ingin maju, seperti Dewi Kartika yang hanya dikenalnya lewat surat saja.

Selain itu, pada waktu yang bersamaan, terjadi pergolakan besar-besaran pada negara jajahan di Asia. Cina, Jepang, Arab, melakukan perlawanan terhadap penjajah. Mereka mengirim para pemudanya ke seluruh dunia menyembarkan benih-benih perlawanan, itu terlihat dari banyaknya sekolah Tionghoa dan Arab di Indonesia, juga surat-kabar (Sin Po, Cina).

Sementara itu di Bali terjadi perang besar. Belanda mengirim pasukannya menaklukkan Bali. Konon, perang ini melibatkan seluruh rakyat Bali—mulai dari keluarga raja dan anak-anaknya, sampai seorang ibu dan bayi-bayinya. Peristiwa itu menggambarkan, masyarakat tradisional di Nusantara secara tidak langsung diwajibkan membela kerajaan, termasuk perang. Di Aceh kita bisa melihat bagaimana wanita-wanita ikut terjun dalam medan perang.

Pada penaklukkan itu, Belanda mengirimkan orang-orang Jawa memerangi Bali, menumpas saudara sendiri. Hal ini pulalah yang dilakukan Belanda terhadap Aceh; ia kirimkan orang-orang Jawa memerangi Aceh. Tapi setidaknya, lewat “Medan” Minke mencoba menghalangi orang Jawa agar tidak dikirim ke Bali, ia mengutus anak buahnya ke Jawa agar mereka menggagalkan pengiriman pasukan. Begitulah perang Bali dikenang, kita menyebutnya perang Puputan; Perang habis-habisan—tak peduli lagi kasta—semua orang sama kewajibanya membela tanah air.

Sementara itu, di Jawa perlawanan pun berkobar hebat. Bukan mengangkat senjata, tapi mengadu strategi. Pesatnya perkembangan SDI dan “Medan”, membuat gentar pemerintah Belanda. Minke selalu menyerukan pemboikotan. Bahkan terjadi pembakaran perkebunan-perkebunan tebu di Jawa—para petani mulai terang-terangan melawan. Perdagangan Belanda harus tunduk terhadap pribumi, pribumilah yang harus ambil peranan. Kemajuan SDI mendapat sorotan tajam dari dunia Internasional, namanya melambung di daratan Asia.

Segala cara dilakukan Belanda untuk menghancurkan “Medan” dan SDI. Tapi hal itu tak membuat Minke takut. Namun, pada akhirnya, ia harus mengakui kekuasaan Belanda. Pada puncaknya, Ia ditangkap ketika Medan Priyayi memberitakan kunjungan Pejabat Belanda pada pemakaman K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat (suami Kartini); dalam pemberitaan itu disebutkan, di balik pernikahan Kartini mengandung unsur kepentingan politik Belanda membungkam Kartini. Juga disebutkan, pada kunjungan itu Pemerintah mengeluarkan dana yang sangat besar karena meyewa semua Taxi di Jakarta. Medan dibredel dan Minke dibuang ke luar Jawa, di Pulau Bacan, dekat Halmahera, Maluku Selatan.

Medan Priyayi adalah manifestasi dasyat manusia pribumi. Pemberitaannya selalu memuat unsur kemanusiaan, bahkan Medan terjun langsung terjun ke bawah membela Kawula. Medan Priyayi dikenal sebagai media pergerakan, hingga berpuluh-puluh tahun istilah itu dikenal dengan nama jurnalisme advokasi (pada masa itu Medan sudah memakai pakar hukum).

Roman ini merupakan sumbangan besar untuk Indonesia, khususnya dunia pers dan pergerakan. Pram merekam kejadian sejarah yang pelik dan begitu penting. Roman ini bercerita bagaimana bangsa ini mulai bangkit dan bersatu untuk tidak takut terhadap penjajah.
[..]

Senin, 13 Desember 2010

Tan Malaka, Bapak Republik yang Dilupakan

Tan Malaka; sosok yang terlupakan. Di tengah gemuruh arus kemerdekaan yang hebat, ia hanya bisa menikmatinya dari alam kubur. Mungkin benar seperti yang dikatakan oleh Tan; “Ingatlah, bahwa dari dalam kubur, suara saya akan lebih keras dari pada di atas bumi”. Memang, akhirnya ia tewas, namun agaknya suaranya tak terdengar lantang di bumi bangsanya.

Ia pahlawan nasional. Presiden Sukarno mengesahkannya pada 1963. Tapi itu hanya sebuah peristiwa semu saja, yang beralibi untuk mengenang Tan. Pada masa Orba, namanya tenggelam begitu saja tanpa ada yang menyanggah. Ia dihapus dari buku pelajaran sejarah di sekolah-sekolah. Mungkin, perlakuan naif itu dilakukan, karena Orba merasa diri anti-komunisme.

Tan nyaris tak disebut dalam kisah-kisah heroik para pejuang. Pramoedya Ananta Toer, mengatakan bahwa Orba telah melakukan “pembodohan sejarah”, rakyat Indonesia dijejali dengan kebohongan lewat sekolah-sekolah. Boleh jadi, apa yang dikatakan Pram, mengarah pada Tan yang terlupakan. Sehingga, sejarah Indonesia akan mengalami ketimpangan; seolah ada tokoh-tokoh super yang ditampilkan berlebihan, ada juga yang tak dikenal sama sekali.

Tapi pahlawan bukan tokoh misterius. Ia ada untuk ditelaah perjuangannya, atau sekadar menilik kembali kejadian suram masa silam. Bukan untuk dielu-elukan, apalagi sampai didewakan. Seolah-olah, pahlawan telah menjadi mitos. Anggapan inilah yang kemudian menjadi sebuah jarak, antara masa silam dan masa sekarang. Padahal, apa yang terjadi sekarang, sebenarnya pun mirip dengan kejadian masa lampau. Sebenarnya, antara masa silam dan sekarang itu ada sebuah jembatan, ia adalah sejarah.

Siapa pula yang kenal dengan Tan Malaka? Sedikit sekali orang yang mengenalnya. Ia adalah tokoh yang berperan penting dalam kemerdekaan pascaproklamasi. Pada 1922, ia dibuang oleh pemerintah kolonilal ke Belanda karena dianggap “mengusik”. Dari sana ia berkelana ke banyak negara dengan berbagai nama samaran dan membawa ideologi; Marxisme. Bukan semata ia mempertahankan ideologinya, namun yang terpenting baginya adalah kemerdekaan Indonesia.

Pada 1942, ia kembali ke Indonesia diam-diam, setelah malang melintang di berbagai negara dengan keterasingannya. Ilyas Hussein nama samarannya, ia pergi ke Jakarta menemui tokoh pemuda, melakukan propaganda. Tentu mereka heran, ia yang mengaku bekerja di pertambangan batu bara di Banten, bisa mengutarakan gagasannya sehebat itu. Ternyata, nama Tan terkenal, karyanya; “Masa Aksi”, banyak dipelajari oleh kaum pergerakan, termasuk Sukarno.

Pascaproklamasi, Tanlah yang mendesak pemuda agar segera melakukan proklamasi. Dengan pengaruhnya, Soekarno dan Hatta diculik golongan pemuda ke Rengasdengklok. Alhasil, proklamasi terlaksana. Tan tak hadir dalam kejadian penting itu, ia yang waktu itu menginap di rumah Sukarni(golongan muda) ditinggal oleh tuan rumahnya itu; ternyata Sukarnilah yang menculik Sukarno, sehingga Tan ditinggal, pada saat itu pun Sukarni tak tahu bahwa Hussein itu Tan. Ia jugalah yang menggerakan masa pada rapat akbar di lapangan Ikada.

Di tanah airnya sendiri, ia pernah dipenjara—lebih lama dari di luar negeri; dua setengah tahun. Pada 1946, ia ditangkap di Madiun, dengan tuduhan hendak melakukan kudeta terhadap Soekarno-Hatta. Sebelumnya, ia membentuk “Persatuan Perjuangan” yang intinya, menolak jalur diplomasi—ia menginginkan Indonesia merdeka seratus persen. Di tempat inilah ia bertemu dengan Jendral Soedirman. Akhirnya, dua sekawan ini bergerilya bersama kembali menghalau Agresi Belanda, setelah Tan bebas pada 1948. Saat itu, kemerdekaan Indonesia dalam keadaan genting; Soekarno, Hatta, Syahrir ditangkap oleh Belanda. Tan dan Soedirman pun berpisah, ia bergerilya ke Jawa Timur, sedang Soedirman ke Jawa Tengah.

Pemerintahan darurat dibentuk, Syafrudin Prawiranegara di Sumatra yang memimpinnya. Tan menolak, ia mendirikan Rakyat Murba Terpendam sebagai markas untuk menyebarkan pamplet dan berpidato memproklamasikan dirinya sebagai pemimpin besar revolusi, menggantikan Soekarno-Hatta yang tak lagi memegang kekuasaan; ia melakukan itu, karena Soekarno pernah memberikan testamen pada 1945 yang isinya, menyerahkan kekuasaanya apabila Soekarno ditangkap.

Dalam persembunyian itu, Tan melakukan propaganda agar rakyat berani melakukan gerilya terhadap Belanda. Di tempat itu juga, Tan mengkritik tentara devisi Jawa Timur pimpinan Kolonel Soengkono yang dinilai pengecut dan tak peduli terhadap rakyat. Soengkono mendengar kabar itu, akhirnya ia menugasi anak buahnya untuk mengintai Tan karena dianggap berbahaya untuk Republik Indonesia. Tan dinilai melakukan agitasi politik terhadap rakyat, guna merebut kekuasaan Soekarno.

Tan tewas oleh Tentara Republik Indonesia, di Selopanggung, pada 23 Februari 1949. Masih menjadi kontroversi siapa yang membunuh Tan. Harry Poeze, Sejarawan Belanda yang meneliti Tan, mengatakan jika yang mengeksekusi Tan adalah Tentara itu, atas perintah Soengkono. Tan tewas tanpa jejak, pemakamannya pun tak jelas. Ia dihujat dan dilupakan oleh negaranya sendiri. Ia kesepian, api semangatnya yang membara ternyata tak berarti apa-apa oleh ganasnya senapan.

Sejarah memang milik penguasa, kata seseorang. Demi kepentingan politik, sang pahlawan dibentuk atau ditiadakan. Yang hebat tambah menjadi hebat, hingga ditempatkan pada yang bukan tempatnya. Akhirnya, sang pahlawan hilang kehebatan, ketika ia ditempatkan pada dunia yang bukan kuasanya; dunia para dewa.

Tan tetap hebat, di tengah mahkluk sesamanya yang mendewakan manusia. Sebab, ia tak ditempatkan di dunia dewa-dewa seperti “Sang Pahlawan” lainnya.
[..]