Sabtu, 01 Januari 2011

Cermin

Penghujung tahun, aku hanya ingin menoleh ke belakang; satu tahun yang lampau. Tahun lalu bagiku adalah sebuah tahun peralihan—yang muda ingin dewasa, yang bodoh ingin pintar, dan yang gelisah akan terus mencari. Separuh tahun aku di kampung halaman, separuh tahun di kampung halaman orang. Seperti sebuah metamorfosa kepompong menjadi kupu-kupu.

Perpisahan bukanlah duka, perpisahan hanyalah dedaunan tua yang runtuh dan tumbuh kembang kembali. Hasrat kebersamaan segera dilenyapkan oleh sang waktu. Apa pula kekuatan waktu? Aku tidak bisa menjawab. Yang pasti, waktu telah merampas serta meluluhlantahkan aku. Aku diobang-ambingkannya, aku dilindas, aku dihujat olehnya.

Tahun lalu adalah tahun ketika sang ayam membiarkan anaknya untuk mencari makan sendiri. Ia dilepaskan setelah beberapa waktu bersembunyi dalam ketiak induknya. Tahun lalu adalah tahun ketika bunga-bunga mulai bersemi lalu runtuh kembali. Tahun lalu adalah gerombolan semut yang terpecah-belah akibat ulah manusia. Aku seperti itu.

Banyak kisah tercecer di sana, di sebuah kota kecil pinggiran laut Jawa. Aku dihempas oleh karang-karang, aku dililit keterbatasan kekuatan, dan aku lemah. Ah, tidak. Aku tidak lemah. Yang lemah adalah perasaanku, seperti sebuah fiksi yang penuh dengan dramatisasi.

Modernisasi telah mengubah kehidupan kami. Tapi modernisasi itu bukan sesuatu yang kita lakukan dengan intuisi semata, ia perlu untuk ditelaah lebih jauh. Kami di sana dibuat menjadi mahkluk konsumsi, yang hanya bisa membeli dan memakai. Gaya hidup hedonisme merambah ke pelbagai lapisan masyarakat, mereka dibuai oleh modernisasi yang mentah.

Apa akibatnya? Manusia dibuat sedemikian kecil hatinya untuk lebih takzim terhadap kekayaan, jabatan, klas sosial—uang. Ini adalah penjajahan diam-diam! kataku dalam hati ketika termenung. Mereka dipaksa untuk mengkonsumsi, memakai, membeli. Yang tidak bisa melakukan itu akan dihukum. Siapa? Bukan senjata atau manusia. Tapi yang menghukum adalah “anggapan” masyarakat.

Aku akan ceritakan sedikit tentang seorang bocah kecil. Ia ingin membeli sepatu baru ketika naik kelas nanti. Tapi orangtuanya bukan seorang pegawai, ia hanya seorang pengusaha kecil yang penghasilannya tak menentu. Bocah itu menangis, ia sedih ketika teman-temannya mengenakan sepatu baru. Apalagi ketika temannya memandang sebelah mata kapadanya, hanya karena ia tak mengenakan sepatu baru.

Anehnya, kehidupan seperti itu begitu hebat mempengaruhi daerah yang justru “pinggiran” seperti kota kami. Mereka berhebat-hebat dengan segala kemewahan, mereka bergaul dengan “klas”nya sendiri-sendiri. Akhirnya, “klas” dijadikan senjata yang ampuh bagi mereka. Dan mereka tidak sadar, bahwa sebenarnya apa yang dianggap “modernisasi” oleh mereka justru mirip seperti feodalisme.

Manusia adalah mahkluk yang sadar akan oranglain. Ia berkaca pada manusia lain untuk mendapatkan identitas dirinya, ia menemukan apa yang dikatakan dengan “golongan”. Ia sadar, bahwa ternyata dalam diri oranglain ada dirinya sendiri, maka ia pun bisa menyebut dirinya sebagai “sesama”. 


Tahu air putih kemasan yang terkenal itu? Dulu masyarakat kita lebih percaya bahwa air yang dimasak sampai 100 derajat celcius lebih bersih daripada segala-gala air. Mereka percaya bahwa kuman di dalam air mati ketika air dipanaskan. Namun dengan berjalannya waktu, dalam pikiran masyarakat telah dibalik; bahwa air putih kemasan itu lebih sehat. Kenapa demikian? Sebab, masyarakat telah berkaca pada cermin yang salah; iklan—konsumerisme.

Ah, agaknya aku terlalu banyak berceloteh. aku hanya ingin menyimpulkan bahwa gaya hidup masyarakat timbul karena kesepakatan bersama yang secara tidak sadar telah masuk dalam dunia kita. Gaya hidup bukanlah kebudayaan, kita lebih setuju jika kebudayaan adalah warisan turun temurun(positif) yang memang perlu dilestarikan.
Maka berkacalah yang lebih baik di hari depan.
[..]