Senin, 14 Februari 2011

Negeri Dongeng

"Sudah lama aku dengar dan baca, ada suatu negeri di mana semua orang adalah sama di depan hukum. Kata dongeng juga; negeri itu memashurkan, menjunjung dan memuliakan kebebasan, persamaan dan persaudaraan. Aku ingin melihat negeri dongengan itu dalam kenyataan.”

Barangkali kita akan rindu negeri dongeng itu; kita telah penat dengan pelbagai persoalan yang tak kunjung usai. Manusia terlampau serakah. Ternyata sikap tamak itu bukan hanya berkenaan dengan material, namun juga otak. Keyakinan menjadi lahan peperangan, yang minor harus dilenyapkan.

Akhirnya kita harus mengakui, manusia kuat selalu ingin menggolongkan mereka yang dianggap lemah. Jika yang lemah tidak berontak dan tidak melawan, maka ia segera ditundukkan. Namun Jika ia susah dilumpuhkan, berarti harus ditiadakan sekaligus. Padahal manusia tidak selamanya bisa digolongkan, ia bisa merupa dalam pelbagai dimensi.

Baru-baru ini negeri ini diguncang tragedi dasyat, serombongan orang atas nama Islam membantai secuil orang; Ahmadiyah. Mereka memporak-porandakan sebuah rumah milik anggota Ahmadiyah. Api berkobar hebat mengabarkan tentang adanya angkara-murka. Dan puncaknya, tiga manusia tutup ajalnya dengan mengenaskan; dalam keadaan tak bernyawa ia terus dihajar.

Kita tentu ingat ceritera-ceritera tentang Muhammad. Ia sebarkan Islam dengan benih-benih kedamaian. Ia dihujat, tapi ia teguh dan kukuh. Dalam perjalanannya, ia pernah mengatakan kepada orang-orang yang tak suka padanya, “Agamaku agamaku, agamamu agamamu.”. Ada semacam kesombongan di sana, tapi Muhammad justru semakin elegan.

Ketika Marx melontarkan kalimat yang sangat kesohor, “Agama adalah candu”, sebenarnya ia tengah menabuh genderang perang. Ia memanifestasikan pemberontakan batinnya, ia cemas pada suatu masyarakat. Kini kalimat itu seolah menjadi ruh yang hidup; agama telah mencandui orang-orang untuk melakukan kekerasan, dan agama selalu terseret dalam kenikmatan itu.

Tapi kita hidup pada sebuah negeri yang bhineka, berdiri atas pondasi aneka sifat dan latar-belakang. Kita berada pada bangunan kemanusiaan, bangunan yang benar-benar agung. kita tidak lagi berbicara atas nama agama, kemudian dengan bebas mengumpat dan membantai. Diam-diam umat muslim gusar; jaman jahiliah kembali bangkit.

Siapa pun tokohnya, apa pun motifnya, agama selalu menjunjung kemanusiaan. Tuhan ada di tengah agama. Dan agama hanya dimiliki manusia, bukan?
[..]

Senin, 07 Februari 2011

Perempuan Hitam

Matahari turun lambat-lambat lambat di ufuk barat, sinarnya kian memudar kemerahan. Cericit kelalawar menyambut hangat kehidupan malam, kehidupan yang hanya dinikmati makhluk-makhluk hitam. Jika ia manusia, maka dengan sengaja atau tidak, namanya akan memanjang sebagai identitas dirinya. Perempuan Malam! Ai, itu nama yang sering disebut-sebut orang.

Dan hari mulai gelap, rembulan menyembul malu-malu menggantikan matahari yang mungkin telah lelah menyinari bumi. Lampu menyala-nyala di seluruh penjuru desa, semua orang dengan sombongnya berlomba-lomba menghidupkannya seterang mungkin. Jaman baru memang telah datang. Dengan karyanya, manusia membuat hidup semakin mudah saja. Barangkali lampu itu dibuat untuk menandingi matahari.

Di antara gemerlap bola ajaib itu, berdiri sebuah rumah yang berbeda pada umumnya, penerangannya sangat buruk. Bangunannya masih cukup baik, hanya saja terkesan tak terawat sama sekali. Rumput-rumput tumbuh subur di depannya, sehingga nampak menyeramkan. Pelepah pisang berayun-ayun dengan lembutnya di sekitar pelataran, dan dedaunan menjuntai-juntai terkena desir angin.

Seorang perempuan muda keluar dari rumah itu. Tubuhnya sintal, mengenakan busana ketat dan agak terbuka. Ia melenggok pelan-pelan ke depan, membuka pintu pagar rumahnya, menebarkan pandang ke segala penjuru. Desa mulai sepi, tak seorang pun yang terlihat, mungkin karena malam sudah sampai pada puncaknya. Angin malam yang kian menderu tak membuatnya kedinginan, ia terus berjalan menjauhi rumahnya sembari matanya tetap awas.

Jalan raya menyambutnya, ia kembali bekerja. Hidup penuh dengan pilihan, pikirnya. Jika ia tidak memilih, berarti ia tak mendapatkan apa-apa. Lalu bagaimana ia akan menghidupi diri dan anaknya yang masih kecil itu, jika ia tidak mendapat apa-apa? Semua harus dimulai dengan keberanian. Ia sudah bosan dengan omong-kosong dunia yang tak memberinya ruang, dunia yang menganggapnya hanya menjadi pelengkap saja.

Ia berdiam di trotoar. Kali ini banyak teman-temanya yang bertebaran di pinggir jalan, busananya sama seperti yang ia kenakan. Ia keluarkan rokok dari saku pinggangnya, menyulut sebatang dengan tenang-tenang. Asap membumbung tinggi ke atas, sejurus kemudian menghilang tanpa menyisakan bekas. Ia menghisap penuh kenikmatan, setumpuk persoalan tak mengikutinya lagi. Sekarang ia sudah menjadi perempuan bebas, bebas dari kekangan orangtua, bebas pula digoda lelaki hidung belang yang siap memangsanya setiap saat.

“Kau baru datang?” Tanya temannya.
“Iya, ada yang harus aku urus di rumah.” Jawabnya agak sedikit gugup.
“Anakmu?”
“Iya.”
“Sudah kau bawa ke dokter?”
“Sudah, kata dokter ia harus dirawat di rumah sakit. Tapi aku rawat di rumah ”
“Kenapa?”
Ia tergeragap dengan pertanyaan temannya. Tubuhnya menggigil sangat kentara, keringatnya bermanik-manik di dahi serta lehernya yang putih-mulus. Ia hisap rokoknya lagi dengan pelan-pelan, lalu menghembuskannya pelan-pelan juga. Akhirnya ia bisa menguasai dirinya kembali.

“Kenapa lagi kalau bukan uang.” Ia menjawab tenang.
“Tapi anakmu harus segera sembuh.” Temannya mendesak.
“Aku sudah berusaha.”

“Sudah hampir satu bulan anakmu terkapar.”
“Aku sudah berusaha menjaganya baik-baik di rumah.”
“Kau harus datang pada orangtuamu.” Kali ini temannya sangat cemas.
“Ah, tidak mungkin!”

Perkataan temannya membuat kenangan buruk terkuak kembali dari pikirannya. Memang ia pernah ceritakan kepada temannya itu perihal masa-lalunya, temannya pulalah yang telah menyeretnya ke dalam dunia malam. Tapi itu jalan yang harus di tempuh, jika ia tidak “melacur” maka ia akan kelaparan. Dan jika ia kelaparan, berarti ia mengajak anaknya pula untuk menderita bersamanya.

Ingatan itu nampak jelas membayang, kini ia bagaikan sebuah film mengerikan yang diputar di sebuah layar lebar. Dan rangkaian peristiwa kelam itu seakan bercerita kembali padanya.

Ia adalah anak perempuan semata wayang dari seorang pemuka agama di desanya. Kedua orangtuanya sangat menyayanginya, mungkin karena ia anak satu-satunya. Semua keinginannya dikabulkan, asalkan tidak melanggar aturan agama. Termasuk tidak boleh dekat-dekat dengan lelaki, apalagi sampai menjalin cinta.

Tapi hal itu dilanggarnya juga, diam-diam ia telah menjalin hubungan dengan seorang lelaki. Kedua orangtuanya tidak tahu perihal itu, berbulan-bulan ia dapat mengelabuhi orangtuanya. Namun usahanya menemui kebuntuan, orangtuanya akhirnya mengetahui jika anaknya tengah mengandung. Ia di usir ketika perutnya sudah membesar dan tak bisa disembunyikan lagi.

Ayahnya tentu sangat marah, harga dirinya sebagai pemuka agama lebih berarti daripada rasa sayang terhadap anaknya. Ayahnya sudah terlanjur malu, ia harus rela kehilangan anak yang telah mencoreng kehormatan sekaligus melecehkan agamanya. Dan perempuan malang itu harus pergi mengembara dengan bayi di perutnya, bayi yang tak punya bapak, bayi yang tak diakui bapaknya, bayi yang terlahir karena dusta lelaki.

Ia terlempar dalam rimbanya kehidupan. Seorang wanita telah menolongnya dari serangan lelaki-lelaki haus berahi, para lelaki yang tak pernah tahu ibunya sendiri, para lelaki yang tak menghargai perempuan sama sekali. Ia tinggal dan melahirkan anaknya di rumah wanita yang menolongnya itu. Namun ternyata ia menyerah pada kerasnya kehidupan, ia terjun ke dunia malam setelah anak yang dikandungnya itu telah ikut melengkapi dunia.

Sejak ia “melacur”, ia sudah tidak lagi tinggal di rumah temannya itu. Ia tinggal di sebuah rumah sewaan bersama anaknya. Tapi sekarang ia dalam cemas, anaknya sakit dan belum juga sembuh. Mestinya ia harus rawat anaknya di rumah sakit, tapi hidup terlalu sulit untuknya. Ia tahu sakit yang diderita anaknya bukan sakit biasa, ia hanya percaya jika Tuhannya tak pernah ingkar.

“Kau harus temui orang tuamu.” Temannya kembali mengingatkan
“Tidak, ayah pasti akan mengusirku.” Ia menggigit bagian bawah bibirnya.
“Anakmu kau tinggal di rumah sendirian?”
“Tidak, ada Bi Narsih, tetanggaku, yang sudah sebatangkara. Ia sering tidur di rumahku.”

Malam semakin larut saja, tapi belum juga ada lelaki yang datang menghampirinya. Akhirnya ia duduk bersandar di sebuah pohon di pinggiran jalan, sedang temannya masih berdiri menunggu tamunya datang. Malam ini nasib baik ada pada temannya, sebuah mobil perlahan-lahan menghampiri. Seorang lelaki tua keluar, mereka berdua bercakap-cakap. Ia menundukkan kepala, seakan-akan ada sesuatu yang disembunyikan. Wajahnya kini begitu pucat, ia menggigil tak tertahankan. Tubuhnya meringkuk di sela pohon besar itu.

“Nanti aku datang ke rumahmu, akan kubawakan makanan.” Temannya memberi isyarat padanya, masuk ke dalam mobil, dan lenyap dari pemandangan.
Ia tak memperdulikan perkataan temannya, ia masih sibuk dengan pikirannya sendiri. Satu jam kemudian ia memutuskan untuk pulang dengan tangan kosong. Ia merasa diri putus asa, langkahnya terseok-seok tanpa tenaga.

“Ya Tuhan, kenapa tak kau sudahi saja hidup hambaMu ini? Kenapa cobaan yang Kau berikan amat berat? Hamba percaya padaMu, hamba percaya Kau sayang pada umatMu.” Ia menjerit dalam hati.

Azhan subuh telah berkumandang, ia telah berada di sisi anaknya. Malam ini ia tak bisa membelikan obat untuk anaknya. Ia sadar, kepala anaknya semakin membesar, anaknya harus segera dioperasi. Tapi uang dari mana? Untuk membelikan obat dan susu saja ia sudah kesusahan. Suara azhan semakin menusuk-nusuk hatinya, ia ingat pada ayahnya. Ia ingat pula pada lelaki tua yang membawa temannya itu. Pikirannya sangat kacau, tak sadar ia telah mengucurkan airmata. Ayahnya yang selama ini ia hormati, ternyata tak berbeda pula dengan lelaki yang setiap malam menjadi ladang kehidupannya.

“Bertahanlah, Nak. Aku ingin mendidikmu menjadi lelaki yang bisa menghargai wanita.” Ia kecup kening anaknya penuh kasih.

Malam berikutnya ia kembali ke jalanan, melupakan segala peristiwa semalam yang menyakitkan. Ia tak lagi percaya pada siapa pun, kepada para lelaki yang yang hanya memandang wanita sebagai boneka mainan. Ia tak percaya pada “kesucian”, hidup ini tidak hitam dan putih. Hanya Tuhan Maha Suci, bisiknya dalam hati. Manusia telah mendustai dirinya sendiri, mereka gunakan agama sebagai topeng belaka. Barangkali ia terlalu sakit melihat ayahnya sendiri, yang dianggap pemuka agama, ternyata “melacur” juga. “Bukankah banyak sekali perempuan direndahkan derajatnya oleh kaum lelaki? Bahkan banyak di antara lelaki itu yang mengaku dari golongan yang “suci”?” Ia kembali bergumam.

“Kenapa kau tak datang?” Tanya perempuan itu pada temannya.
“Maaf, aku sangat lelah. Tapi kau dapat makan?” Jawab temannya.
“Bi Narsih memasak untukku. Siapa lelaki semalam? Langgananmu?
“Iya, dulu. Tapi baru tadi malam datang lagi.”

Mereka kembali terdiam. Bulan mengintip malu-malu dari bilik langit, sesekali membenamkan seluruh tubuhnya, maka langit pun menjadi muram. Malam benar-benar suram, bintang-bintang pun menghilang mengikuti sang bulan, dan jalanan menjadi gelap tanpa penerangan. Dari kejauhan sebuah mobil melaju pelan dengan lampu menyala-nyala, perempuan-perempuan malam itu berlarian
“Lari.” Pekik temannya.

Ia lari terpatah-patah sendiri, temanya menyusup entah kemana. Ia tertangkap oleh petugas, dan diangkut oleh mobil itu bersama perempuan malam lainnya. Mereka di bawa ke sebuah kantor untuk dimintai keterangan. Ia meronta, memohon agar dibebaskan.

“Pak, lepaskan saya. Anak saya sakit.” Tangisnya terbata-bata.
“Kau tinggal di sini beberapa hari.” Jawab tegas petugas.
Azhan subuh terdengar sayup-sayup dari surau sebelah kantor. Ia menangis, ia rasakan kesakitan yang mendera hatinya.

“Semoga kau baik-baik saja, anakku.” Ia kembali mendoa.

Desember 2011
[..]

Minggu, 06 Februari 2011

Muak

Pemandangan yang sangsi; pemukiman kumuh. Sepanjang pinggiran jalur kereta Ibu kota, kita bisa melihat tenda berderet-deret. Sampah menumpuk, asap mengepul hebat akibat pembakaran. Adegan datang dari sana. Dari balik jendela kereta yang berhenti sejenak, penumpang menyaksikannya. Seorang wanita paruh baya memasak, seorang lelaki bergumul dengan pulungan, anak kecil bermain air. Meski  sepintas, orang bisa segera menyimpulkan—tidak sehat.

Beberapa saat kemudian kereta melaju. Di samping-menyampingnya terlihat bangunan yang beragam, ada kesenjangan di sana. Gedung-gedung menjulang tinggi, tenda-tenda kumuh tambah “mblangsak”. Saya bukan manusia bijak yang selalu peka terhadap sesama. Saya hanyalah angka nol; berada di balik angka lainnya—saya seperti yang lyan. Sekali lagi, sebagai manusia pada umumnya, hati saya terguncang.

Mungkin itu adegan yang lumrah, sebuah ceritera klise. Kemiskinan bukan sesuatu yang mengejutkan bagi kita, ia nyata dan dekat. Sudah sering kita dengar adanya kesenjangan, pun kita bisa lihat sendiri dengan mata yang masih wajar. Entah mengapa, Ibu kota seolah menjelma sarang bagi pendusta-pendusta, menjadi liang bagi para penggembala kenistaan.

Barangkali memang ia cocok buat mencetak pemberontak-pemberontak ulung, para oposisi yang tidak diakui keberadaannya. Mereka, dengan jalannya sendiri-sendiri mencoba melawan apa yang disebut “penghianatan”. Tapi pun akhirnya mereka harus memilih, dan penghidupan adalah jalan yang membisikkan kengerian. Di antara mereka ada yang berhianat, sisanya adalah pengais keberanian.

Seperti yang saya katakan tadi, Ibu kota bukan keranjang keluhan yang menampung berjuta-juta tangis. Ia juga bukan kotak amal yang senantiasa menunggu derma. Ia hanya ember berisi air, ia bisa tenang dan beriak-riak. Bisa keruh maupun jernih. Tapi ia terus menggoda, menawarkan segala macam kegemasan. Lalu memaksa kita  bercericau, atau bahkan berteriak memaki-makinya bila mau.

Di sana ada banyak para elitis. Di sana juga ada banyak pengemis. Mereka berlomba-lomba tampil di atas panggung. Tapi sang sutradara sangat baik dan bijak, mereka dipersilahkan tampil bersama dalam satu panggung. Yang satu sibuk merapal mantra sampai berbusa-busa, berjanji-janji, berhebat-hebat dengan ilmunya. Yang satu lagi bosan menunggu, mengantuk mendengar celoteh-celoteh yang menyerupai tukang obat. Aih, begitu piciknya sang sutradara.

Mungkin saya akan terlalu lelah menyebutkan berbagai-bagai kebusukan. Dan mari, kita nikmati saja kelucuan itu. Mudah-mudahan ceritera kepahlawanan dari guruku bukan sekadar lelucon, mudah-mudahan pula guruku tidak berbohong jika di bangsa ini pernah lahir orang-orang besar.

[..]

Sabtu, 05 Februari 2011

Dewandaru

Jika ada orang menanam pohon yang batangnya lurus, dedaunannya lebat dan lebar, apalagi sampai berbuah dan berbunga, maka hal itu adalah kebaikan semata. Bukan hanya itu, mungkin ia akan dipuji khalayak sebagai orang yang cinta pada lingkungan, dan kreatif pula mengolah pekarangannya dengan hal yang menguntungkan. Berbeda dengan ayahku, ia justru gemar menanam pohon yang aneh-aneh—pohon liar. Apa tujuannya? Tidak ada yang tahu. Yang jelas, pohon yang ia bawa selalu tidak lazim. Banyak orang yang merasa simpati padanya, mereka mengira ayah depresi lantaran menjadi orang miskin baru-baru ini.

Kadang-kadang ia mendatangkan puluhan pohon liar dari hutan yang dibawa dengan mobil sewaan. Aku pun ikut membantu menurunkan pohon-pohon aneh itu. “Hati-hati, jangan sampai rusak.” Katanya mengingatkan. Macam-macam bentuknya, ada yang besar tapi kerdil (sengaja dipotong atasnya namun cara memotongnya miring, sehingga ujungnya nampak runcing), ada yang keropos sebagian batangnya (tapi akar serabutnya sangat lebat), ada pula yang batangnya berkelok seperti ular (hampir semua pohon itu batangnya tidak lurus).

Yang membuat kesal, ayah juga membawa pohon yang durinya runcing-runcing sehingga seringkali aku terluka kena durinya. Kemudian ia dengan tekun memotongi duri-duri itu, itu pun dilakukannya dengan hati-hati pula. Jika batangnya tergores dan mengeluarkan getah, ia segera mengoleskan cairan yang telah disediakan dalam botol kecil. Ia lindungi betul tanah yang menempel pada akar-akarnya, terlebih tanah yang menempel pada serabut.

Setelah semuanya dibereskan, ia segera menanam pohon-pohonnya pada ember-ember plastik pecah yang telah ia jahit dengan kawat. Setelah semuanya telah ditanam dan disirami, barulah ia berdiri berkacak-pinggang seraya menikmati hasil buruannya.
Orang pun lalu-lalang lewat di rumah kami sambil terheran-heran melihat pemandangan yang aneh.

II
Dalam satu bulan, halaman rumah kami telah menjadi hutan buatan tanpa dedaunan hijau. Tentu, orang-orang sekitar semakin heran dengan kegiatan ayah belakangan ini. Tapi tak ada yang berani menanyakan perihal itu kepada ayah, sebab walaupun sudah jatuh miskin ayah masih mempunyai wibawa di kampung kami. Maklumlah, ia anak mantan seorang lurah pertama di kampung kami sehingga dalam kehidupan sosial pun ada jarak yang membedakan dengan orang-orang kebanyakan.

Hampir setiap hari kegiatan ayah adalah berburu pohon-pohon liar. Pagi-pagi benar ibu telah menyiapkan segala perlengkapan buru ayah. Ada cangkul, kapak, celurit, sampai pahatan sekalipun—mirip peralatan tukang saja. Ia mengenakan kaos oblong yang telah usang dan celana pendek kumal. Dengan topi caping dan karung beras di pundaknya, ia berjalan dari rumah menuju jalan raya untuk menunggu bus. Tentu aku malu dengan tingkah ayah selama ini, padahal sebelumnya ayah selalu rapih jika mau pergi kemana-mana. Pernah aku menanyakan kepada ibu, tapi ia hanya menjawab “percayalah pada ayahmu”.

Ibu memang sangat tahu tabiat ayah selama ini. Menurutnya, ayah adalah seorang yang pekerja keras, namun ia tak mau sedikit pun diperintah oleh orang. Dengan kata lain, ia selalu ingin berdiri di atas kaki sendiri tanpa bantuan orang lain. Ia lebih suka hidup sebagai wiraswasta yang punya usaha sendiri, bahkan bisa mempekerjakan orang di usahanya. Perjalanan ayah sudah menjadi bukti, bahwa selama ini ia telah beberapa kali mempunyai usaha sendiri walau pun jatuh-bangun.

Akhirnya ibu menceritakan perjalanannya bersama ayah. Katanya, ketika aku dalam kandungan, ayah baru saja bangkrut dari usaha pertaniannya. Ketika itu pula Bapak ayah meninggal dunia, sehingga mau tak mau ia harus bekerja keras. Ayah tak mengharapkan sedikitpun warisan dari orangtuanya, sebab Bapaknya sendiri juga sudah mempunyai pengganti mendiang Ibu ayah. Ayah merelakan semua peninggalan Bapaknya untuk Ibu dan saudara-saudara tirinya.

Ternyata hal aneh yang dilakukan ayah selama ini bukanlah hal baru bagi ibu. Dulu ayah pernah mempunyai usaha pembibitan mangga yang terbesar di kota kami. Hampir seluruh perkebunan mangga di kota kami berasal dari ayah. Saat itu jarang sekali ditemui tempat pembibitan mangga, walau pun sebagian kecil di pekarangan warga sudah ada pohon mangga yang telah tua usiannya. Pesanan pun membanjiri usaha ayah, bahkan sampai pembeli rela menitipkan uang terlebih dahulu.

Namun keberhasilan tidak didapat semudah membalikkan telapak tangan, ia bekerja keras. Awalnya, setiap malam, pada saat musim mangga, ayah rela berburu mangga yang jatuh dari pohon untuk kemudian diambil bijinya. Bahkan, ia rela membeli banyak mangga dan dibagikan kepada tetangga-tetangga (setelah itu biji mangga dikembalikan kepada ayah untuk disemai).

III
Pohon-pohon itu bak robot yang dikendalikan semaunya oleh pemiliknya. Kini “anak rohani”nya itu sudah seperti pelari obor saja, ia estafet . Setiap kali ada pohon baru didatangkan, berarti ada pula pohon yang harus tampil di atas pot. Dan bila sudah berada di pot, ia pun ditempatkan pada posisi yang tinggi—ditaruh di atas rak yang terbuat dari bambu, dan dijejer rapih. Kemudian dahan-dahan baru yang mulai tumbuh dililit dengan kawat elastis untuk diarahkan semau ayah.

“Ini adalah tanaman bersejarah, Nak.” Katanya suatu malam kepadaku ketika kami duduk bareng di beranda sambil melihat tanaman itu.

“Itu kan cuma tunggak saja, Yah.” kataku dengan penasaran.

“Bukan, Nak. Ini Bonsai. Bangsawan Jepang selalu mewariskan turun-temurun tanaman ini kepada anak-cucu mereka. Ini karya seni orang-orang tertentu, Nak.”

Akhirnya aku mengerti apa yang dilakukan ayah selama ini. Pertama kali aku dengar namanya tentu dari buku-buku yang sudah lama ayah baca. Memang di sampul buku itu terpampang gambar tumbuhan yang sangat indah. Tapi pikirku gambar itu adalah pohon besar yang sudah berumur ratusan tahun, atau setidaknya ada orang yang melukis kemudian dengan imajinasinya menempatkan pohon itu pada sebuah pot dangkal.

Ayah pun menyodorkan gambar-gambar Bonsai yang telah jadi kepadaku. Ternyata benar, pohon-pohon itu sengaja dikerdilkan dan dijadikan sebuah miniatur pemandangan yang sangat indah. Bahkan ada gambar dengan akar mencengkram sebuah batu karang. Justru keindahan sebuah Bonsai terlihat dari kesan alaminya yang menunjukan pohon itu seperti sebenarnya. Aku lebih terperangah lagi ketika melihat gambar Bonsai yang seluruh batangnya keropos, namun daunya sangat lebat dan kecil-kecil.

IV
Hari demi hari ayah menyibukkan diri di rumah. Aku pun mulai menyukai apa yang menjadi hoby ayah tersebut, aku menjadi semangat untuk membantunya serta belajar. Banyak pohon yang sudah setengah jadi berkat tangan dinginnya. Halaman rumah kami semakin sejuk, rumah kami sudah seperti surga dengan taman yang indah.

Ia mengenalkan satu-persatu jenis tanaman yang ada di rumah kami. Banyak sekali, hingga aku kualahan untuk menghafalnya. Aneh-aneh saja nama Bonsai-Bonsai itu, apalagi pohon liar yang diambil dari hutan. Ada Sisir, Serut, Kemuning, Wareng, dan agaknya masih banyak lagi. Sedangkan yang mudah dihafal adalah pohon-pohon yang memang bukan dari hutan. Misalnya; Beringin, Cemara Udang, Sancang, Kawista, Santigi….

Aku menjadi sedikit paham tentang seni Bonsai setelah ayah mengajarkan banyak hal. Lebih dari itu, ia menjelaskan bagaimana filosofi sebuah Bonsai. Akar-akarnya yang kompak adalah cerminan keteguhan hati manusia, Bonsai dikatakan baik jika akarnya pun baik, sekalipun batangnya sangat kecil. Dahannya yang tersusun rapih dan mengerucut adalah gambaran sebuah kerjasama manusia dalam mencapai kemakmuran, serta menekankan bahwa keberhasilan lahir karena kerja keras untuk menyusun dan mengatur segala sesuatu yang pelik.

Bonsai memiliki hukum yang mutlak. Yang aku tahu, ia harus mempunyai keseimbangan yang baik. Bagian bawah harus lebih besar, dan semakin ke atas harus semakin kecil. Tidak boleh ada dahan di atas yang lebih besar daripada yang di bawah. Semua berawal dari bawah, terutama pada akar. Kesempurnaan inilah yang ayah katakan kepadaku sebagai kesempurnaan yang absah. Bukan bayangan semu belaka. Sehingga bila suatu saat datang angin menerpa, ia akan tetap bertahan.
“Semua itu dibutuhkah kesabaran, Nak” bisiknya kepadaku.


V
Ayah sangat menyayangi semua tanamannya. Baginya, ia adalah mahluk yang bisa bicara. Ia punya rasa seperti manusia. Jika manusia butuh makan dan perawatan, maka tumbuhan juga butuh makan dan perawatan pula. Ia tak pernah sekali pun tidak menyirami tanamannya. Setiap hari ia habiskan waktu untuk berkomunikasi dengan “anak rohani”nya itu. Namun dari banyak tanamannya, ia mempunyai sebuah Bonsai istimewa yang sengaja ia tempatkan di tempat tersembunyi. Ia adalah Bonsai Dewandaru.

Pohon itu, katanya, adalah peninggalan turun temurun dari Nenek-Moyangnya. Banyak manfaat yang terkandung di dalamnya. Orang percaya bahwa tanaman itu memiliki daya magis yang kuat. Pohon tersebut berasal dari pulau Karimunjawa yang dibawa pertama kali oleh para Sunan. Namun ayah hanya mempercayai jika buah Dewandaru mempunyai banyak manfaat yang bisa menyembuhkan banyak penyakit.

“Ini, Nak. Tanaman ini. Kelak jika ayah sudah tak ada, kau harus merawatnya baik-baik.” Ayah mengatakan padaku seraya memegang pundakku. Seakan ada sebuah amanat yang harus aku emban.

Katanya pula, buah ajaib pohon itulah yang menyelamatkan ayah dari sakitnya. Dulu, ketika kecil ayah mengalami sakit yang sudah kronis. Sudah banyak dokter yang datang untuk menyembuhkan, tapi tak satupun yang bisa menyembuhkannya. “Tak ada obatnya” kata para dokter itu. Kemudia Bapak ayah terpaksa memanggil paranormal untuk menyembuhkan, barangkali itu gangguan gaib. Ah, tidak. Semua tidak ada yang bisa menyembuhkan.

Sementara itu kondisi ayah semakin memburuk, ia hanya tergeletak saja di pembaringan. Makan dan minum ia lewatkan, hanya melalui infus cairan masuk ke dalam tubuhnya. Ibu ayah meratapinya setiap hari, seakan tidak rela jika anaknya akan meninggalkan. Bahkan ayah sudah dibacakan ayat-ayat suci, seolah ia hampir meninggal dunia.

Dalam kekalutan itu, Bapak ayah bermimpi bertemu dengan Nenek-Moyangnya. Kemudian ia mendapat pesan dari mimpinya itu. “Kelak pohon ini akan bermanfaat”. Kalimat itu sama seperti yang diucapkan Kakek ayah kepada Bapaknya. Entah karena terlalu banyak pikiran, sehingga seperti berhalusinasi. Bapak ayah segera pergi melihat Dewandaru—pohon Nenek-Moyang turun-temurun. Dewandaru telah berbuah, buah itulah yang diambil oleh Bapak ayah. Kemudian dimasukkan paksa ke mulut ayah.

Buah Dewandaru telah menyelamatkan hidup ayah. Nenek-Moyangnya mempercayai bahwa pohon itu memiliki daya magis yang dasyat. Namun sebagai orang modern, ayah mencoba mencari informasi ilmiah tentang Dewandaru. Dan darisitulah ia mengetahui banyak sekali manfaat yang terkandung dalam pohon itu. Ia pun tahu, pohon tersebut telah langka ditemui.

Dewandaru menjadi Bonsai penuh manfaat di tangannya. Melebihi Bonsai bangsawan Jepang.
Bekasi, November 2010


[..]

Kamis, 03 Februari 2011

Mak Yati

Memang bukan sesuatu yang janggal jika orangtua harus merelakan anak-anaknya untuk pergi dari rumahnya; bekerja, berumahtangga—mandiri. Tapi itu hanya anggapan orang-orang saja, sebenarnya hati orangtua selalu rapuh. Ia menangis tanpa airmata, ia akan sedih bukan kepalang ditinggal oleh mereka yang belasan tahun telah dibesarkan dan dibimbing. Ah, betapa berat beban orangtua.

Mak Yati namanya, umurnya hampir 70 tahun, suaminya telah pergi mendahuluinya beberapa tahun yang lalu. Mungkin nasib masih ada padanya, suaminya meninggal ketika delapan anaknya sudah bisa hidup sendiri-sendiri. Ia tinggal di kota kecil bersama anak perempuannya yang ke-lima, Asih panggilannya. Asih adalah anak paling disayang oleh Mak Yati, sehingga dari kecil ia selalu bersamanya.

Semua anaknya sudah maklum dengan perlakuan istimewa ibunya terhadap Asih. Sejak kecil memang Asih berbeda dari saudara-saudara lainnya. Mak Yati kerap memarahi Asih dihadapan anak lainya, tapi itu hanya pura-pura saja agar anaknya yang lain tidak iri. Asih sudah punya suami, anaknya tiga. Suaminya menganggur, pun juga tinggal bersama di rumah Mak Yati.

Gaji pensiunan suami Mak Yati digunakan untuk keperluan dirinya dan keluarga Asih. Ia harus mencuci pakaian sendiri, memasak sendiri, bahkan menghidangkannya buat Asih sekeluarga. Setiap kali anak-anak nya mengirimi uang, berarti uang itu uang Asih juga. Sebenarnya ia sudah tak membutuhkan uang lagi, ia cukup bahagia dan tak berkeberatan menanggung beban hidup Asih sekeluarga. Yang terpenting ia tidak sendiri, ia tidak kesepian.

“Sudahlah Mak, Mak tinggal bersama saya saja. Biarkan Asih yang menempati rumah Mak.” Salah satu anaknya mengingatkan lewat telepon.
“Tidak, aku sudah bahagia tinggal di sini. Kalian tidak usah khawatir padaku. Aku tidak suka jika kalian membenci Asih. Kalian tahu kan? Asih itu berbeda dari kalian, dia tidak mungkin tinggal sendiri.” Mak Yati berkeberatan dengan ajakan anaknya.

“Kan sudah ada suaminya. Masa Emak harus menanggung semua beban mereka? Jika memang Emak khawatir, biarkan gaji bulanan Emak buat Asih.”
“Bukan masalah itu. Aku sudah hidup berkecukupan dengan gaji pensiunan bapak kalian. Sudah aku bilang, Asih berbeda dengan kalian.”

Anak-anaknya selalu berpikir jika ibunya memang tidak adil memberlakukan mereka. Tapi ada yang luput dari anak-anaknya, ia sebenarnya kesepian. Hanya Asihlah yang mampu menemaninya. Jika ia marah, ia tidak segan lagi untuk memaki-maki Asih, itu karena Asih selalu memaklumi dan tak pernah marah jika Mak Yati membentaknya. Lebih dari itu, Mak Yati tidak merasa risih kepada Asih.

Di mata orang banyak, suasana di rumah Mak Yati memang tidak lazim. Para tetangga merasa iba dengan Mak Yati yang telah renta, tubuhnya bungkuk, rambutnya sudah tak menyisakan kehitaman sedikit pun. Pergunjingan tentang keluarga itu rasanya sudah menjadi tema wajib di pagi hari kala ibu-ibu berbelanja pada tukang sayur keliling.

Semua anak Mak Yati sudah berunding agar Asih mandiri, setidaknya bisa menghasilkan uang sendiri dan Mak Yati tidak boleh bekerja berat. Akhirnya mereka sepakat untuk memberikan modal usaha kepada suami Asih agar tidak lagi merepotkan mertuanya. Modal pun diberikan, dan beberapa hari kemudian usaha “kaos kaki” sudah mulai dirintis oleh suami Asih, ia dibantu oleh Asih dan anaknya.

Dengan dimulainya usaha itu, suasana di rumah Mak Yati sudah cukup tenang. Anak-anaknya kembali membujuk ibunya agar mengunjungi rumah mereka di luar kota dalam satu atau dua bulan. Pikir mereka, ibunya bisa berpindah-pindah untuk mengunjungi rumah delapan anaknya itu yang kebetulan satu kota. Tapi hal tersebut lagi-lagi ditolak oleh Mak Yati.

“Kepana sih Mak? Kenapa Mak tidak mau mengunjungi kami?” Suara anaknya agak kesal terdengar dari telepon.
“Mestinya kalian datang ke mari, Asih tidak mungkin aku tinggal sendirian.” Jawab Mak Yati singkat.

“Kami sibuk Mak. Kalau Mak ke mari, nanti Mak bisa bertemu semua anak Mak. Kan Asih sudah ada kesibukkan dengan suaminya?”

“Aku tidak bisa meninggalkan Asih. Aku pun sudah tua begini, sudah tidak kuat lagi pergi-pergi.”

Gagang telepon ia letakkan pelan, ia kehilangan tenaga, tangannya bergetar hebat. Ia pergi menuju kamar, merebahkan tubuhnya di kasur empuk pemberian anaknya. Tapi kali ini kasur yang empuk itu tidak terasa sama sekali, yang terasa hanya kepedihan yang menyiksa tiada henti. Ia meneteskan airmata, entah untuk berapa kali ia harus menangis, sedang dalam senyum pun ia juga menangis.

Ia rasai kerinduan yang membuncah kepada anak-anaknya, kepada mereka yang telah Sembilan bulan dikandung dan belasan tahun diasuh. Mereka bukan lagi anaknya, bukan lagi bocah-bocah yang harus diingatkan atau dimarahi jika membandel. Mereka sudah menjadi milik suami atau istrinya, milik anak-anaknya juga, yang tak kenal dengan neneknya.

Ia rindu suasana seperti dulu kala, saat ia harus mencucikan pakaian untuk suami dan anak-anaknya. Atau ketika ia harus bangun lebih pagi dari mereka untuk menyiapkan sarapan pagi dan seragam-seragam sekolah mereka yang semalaman telah ia setrika. Tapi suasana itu tak lagi ia dapatkan, mungkin tak akan pernah datang kembali. Hanya Asih yang masih menghibur batinnya, masih bisa untuk menjadi tempat mencurahkan rasa keibuannya terhadap anaknya.

Uang sudah tidak akrab lagi dengan dunianya. Dulu ia pernah kesusahan untuk membiayai anaknya yang banyak itu, kesusahan untuk mendapatkan uang. Namun itulah kewajiban yang harus dipenuhi oleh orang tua untuk anaknya, sehingga mau tidak mau orangtua harus banting-tulang menghidupi anak-anaknya. Tapi haruskah perjuangan itu dibalas dengan uang juga? Apakah kasih sayang hanya sebatas uang?

“Aku yang bersalah! Dari dulu aku selalu katakan kepada anak-anakku untuk rajin, agar dapat hidup bahagia dan berkecukupan. Ya, rajin bekerja!biar kaya! Tapi aku tak pernah mengatakan apa arti kasih sayang, artinya kerinduan. Ah, apa aku kurang sayang terhadap mereka, sehingga untuk sering datang padaku pun tak sempat?” Ia menangis sambil mengutuki dirinya sendiri.

Segala usaha yang dilakukan anak-anak Mak Yati sia-sia belaka. Modal telah diberikan kepada keluarga Asih, namun belum juga membuat Asih mandiri. Malah sekarang adalagi alasan Asih perihal usahanya, suaminya merasa kesusahan jika tidak ada kendaraan. Akhirnya dengan harapan yang besar, motor pun dibelikan untuk menunjang usaha suami Asih.

Sikap suami Asih semakin ngelunjak saja, ia masih saja minta rokok mertuanya. Kali ini suami Asih jarang pulang ke rumah entah untuk keperluan apa. Awalnya sehari, dua hari, sampai-sampai satu minggu baru pulang. Asih tak bisa marah terhadap suaminya, juga Mak Yati sendiri sebagai mertuanya. Mak Yati takut bila tiba-tiba saja suami Asih menceraikan, terlebih ia tahu jika Asih bukanlah wanita yang berpikiran normal. Jika Asih diceraikan oleh suaminya, bukan saja anak-anaknya yang terlantar, tetapi Asih sendiri juga bisa gila.

Suatu hari, di tengah malam, Mak Yati dikejutkan dengan kejadian yang begitu mengguncang batinnya. Orang-orang ramai di luar rumah, beberapa warga mengetuk pintu rumahnya. Pikirnya, tentu ini bukan kejadian biasa, karena tidak mungkin tengah malam ada tamu. Ketika pintu dibuka, kepala Rt hendak menyampaikan sesuatu kepada Mak Yati dengan agak gugup. Tapi belum selesai kepala Rt itu berbicara, Mak Yati telah pingsan.

Satu hari kemudian, semua anaknya pulang ke rumah Mak Yati, setelah mendengar kabar tentang kesehatannya. Mereka melihat ibunya terkapar tak berdaya di kasur. Ketika baru sadar, Mak Yati langsung memanggil-manggil Asih seperti orang ketakutan, tapi Asih tak didapatinya di rumah itu. Yang didapatinya adalah seluruh anaknya yang lain.

“Mana Asih?” Tanya Mak Yati dengan tubuh menggigil.
“Mak, Asih tinggal di rumah suaminya untuk beberapa hari ini.”
Suami Asih di usir oleh warga sekitar. Asih ikut bersama suaminya, tinggal di rumah orangtua suaminya. Ya, Asih tetap setia, meski suaminya diusir warga lantaran ketahuan berselingkuh dengan janda sebelah. Dan Mak Yati akhirnya harus menghadapi kesepian dan ketakutannya sendiri.***
[..]