Kamis, 21 April 2011

Ketidakmampuan

Sekarang 31 Desember 2010, esok tanggal sudah akan menjajaki tahun baru, 2011. Dan aku? Aku belum berani untuk melangkah ke dunia yang baru. Sekalipun Bapak terus saja menyokong dengan semangat yang tiada henti, menyuruhku untuk bergerak lagi, belajar untuk berlari, dan terbang. Ia tak mampu untuk membantu dalam hal materi, namun bagiku itu bukanlah hal yang teramat penting. Bapaklah pahlawan dalam ragaku, dia roh yang telah membangkitkan semangat hidupku. Ketika banyak temanku yang dengan perlahan mencekik urat kehidupanku, Bapaklah yang dengan “perlahan” melepaskan genggaman tangan-tangan jahat yang menempel di leherku, di sekujur tubuh molekku, agar aku dapat bernapas dengan lega. Tangan-tangan itu seperti tumbuh, berkembang, dan berakar.

Beberapa hari yang lalu, kira-kira hari Senin, tanggal 27, usiaku sudah 20, seekor lalat hinggap di pusarku. Malam itu ketika kernyap-kernyap kubuka mata sedikit dengan enggannya, kulihat beratus-ratus lalat kecil beterbangan, berputar seperti angin topan kecil. Kukira itu hanya mimpi,tidak kuhiraukan. Aku tertidur lagi. Namun beberapa detik kemudian, kurasakan pusarku geli, seakan ada yang menggelitik. Rasa geli itu tidak hanya terasa di pusarku, namun ia dengan riangnya menjalar hingga seluruh perut. Jalan terus ke atas, dan dadaku juga ikut terasa geli, rasa geli itu berakhir di bagian atas leher. Yang kuherankan, bagian bawah tubuhku tidak merasakan pengalaman ini. Aku punya kebiasaan buruk sedari kecil. Ketika tidur, tidak pernah mengenakan baju. Panas, kilahku ketika Ibu menyuruhku mengenakan baju, takut kalau anaknya masuk angin. Ternyata yang hinggap di puserku itu adalah seekor lalat muda. Kulihat wajahnya tidaklah sama dengan sekelompok lalat lainnya. Ia tampan, gagah, dan menarik. Posisinya menghadap ke wajahku. Lama aku ditatap lalat berwajah tampan itu. Aku diam dalam kantukku. Tapi aku masih sadar ketika ia mulai bersenggama dengan asyiknya, bersetubuh dengan pusarku. Aku merasa heran, aku pun dapat merasakan persenggamaan itu. Karena merasa nikmat, aku diam. Aku melanjutkan tidurku dalam kelam.
Esok paginya kulihat si lalat sudah tidak lagi bertengger di atas pusarku, namun ketika aku berbalik badan, kulihat si lalat terkapar mati di lantai. Di sebelahnya, beratus-ratus lalat, teman-teman dari lalat yang membuatku asyik tadi malam, mati juga. Mereka seperti gunungan…lalat. Di dekat pintu kulihat semprotan serangga masih mengepulkan sisa-sisa asap mematikan bagi golongan insekta. Artinya mereka baru saja dibasmi. Siapa? Bapak? Tak mungkin. Itu tak jadi masalah bagiku, aku menjadi ingat bahwa aku takut serangga. Serangga menjijikan, apalagi lalat.
Di kampus aku mulai dijauhi teman-teman, katanya tubuhku berbau busuk, bau pelacur, bau murahan. Ada yang bertanya, “Tadi malam kau bersenggama dengan lalat?” Aku diam dalam ketidakpastian. Bingung mau jawab apa. Tadi malam aku masih mengantuk, setengah sadar, namun memang merasakan kenikmatan yang luar biasa. Tak ada yang mau mengajakku makan siang, tak ada yang mengajakku menonton pertunjukan seni, tak ada yangt mengajakku berbicara , tak ada yang mau mendekatiku. Tubuhku bau, berbau lendir kenistaan karena telah bersenggama dengan binatang. Apa mereka menyaksikannya? Entah, aku tak peduli.

Malamnya, aku merasakan sakit luar biasa pada bagian “anuku”. Aku buka celanaku, untuk memastikan “anuku” itu baik-baik saja. Rasanya panas, perih, seperti kena raja singa. Taklah mungkin, aku belum pernah gonta-ganti pasangan. Aku menanggalkan celana, dan untuk beberapa lamanya tidak mamakainya lagi, sakit kalau tergesek. Sekitar sejam kemudian kulihat sesuatu seperti akar menjalar cepat, tumbuh dari “anu”ku, membungkus tubuhku dengan eratnya, seperti tak rela berpisah. Sesuatu itu mulai memanjat, ke pinggul, perut, dada, merajai leherku, namun berhenti, tak sampai daerah muka. Bagian tangan dan kaki bebas, hanya sebatas paha dan bahu. Ketika berjalan, aku merasakan berat. Sesuatu itu rupanya berbentuk tangan.

Tak ada yang dapat melihat tangan-tangan itu tumbuh melalui vaginaku. Tak ada yang melihat bahwa sekarang tubuhku menggumpal seperti babi. Hidupku mulai dikelilingi rasa bersalah, menyesal, malu. Tenggorokkanku sakit pula, merasa radang, kepalaku terus saja berputar , terus berputar. Badanku terasa ada yang meremuk dari dalam. Tulang keringku berdenyut, bengkak, membiru. Bibirku kering, pucat. Aku memilih mati, daripada hidup dengan rasa seperti ini, menyiksa. Hanya Bapak yang melihat keanehan ini. Dia marah. Matanya melotot garang ke arahku, merah. Otot-otot kelembutannya hilang, ia menjadi seseorang yang begitu kutakuti, aku melangkah mundur, dan ia dengan segera menangkapku dengan cekatan. Menarikku sampai dekat dengan wajahnya. Ia mendesis seperti ular. Aku tak mengerti apa yang dikatakannya. Yang kutahu, saat itu tubuhku menjadi terasa terbakar. Dan memang benar-benar terbakar. Panas. Aku menjerit sejadi-jadinya. Melolong minta tolong seperti serigala melolong di kala melihat saudaranya mati ditembak pemburu. Tak ada sama sekali yang menolongku. Tak mungkin jika para tetangga tak ada yang mendengar . Enggan mungkin. Tembok-tembok rumah mulai retak karena lolonganku. Akhirnya pecah berkeping-keping. Akibatnya, ruang keluarga rumahku menjadi bersatu dengan ruang keluarga tetangga sebelah. Tetangga yang kaget, melengos melihat tubuhku terbakar, melihat Bapak sedang menjulurkan lidah ularnya yang bercabang dua, sedang menjilati sekujur tubuhku. Otot-ototnya membuat dia terlihat gagah, kuat. Aku tak berdaya dalam cekalannya. Diam dalam kesakitan yang amat sangat. Tetanggaku yang baru menikah beberapa minggu lalu ini menjerit ketakutan, lari ke luar rumah. Bapak mengangkatku tinggi, hanya dengan tangan kirinya. Mengaum seperti harimau jadi-jadian. Mengamuk, mengguncang tubuhku, ke kanan, dan ke kiri. Mengocokku dengan dahsyatnya. Aku mual, mual sekali.

Aku muntah, sesuatu benda yang ukurannya lumayan besar keluar dari mulutku, terbungkus lendir bening membungkus benda itu. Tahukah kau itu apa? Berpuluh-puluh lalat berbentuk gumpalan yang menjadi satu melambaikan tangannya, berusaha meminta tolong. Bapak menginjaknya dengan marah masih menempel dalam jiwanya. Setelah yakin makhluk-makhluk itu mati, ia menatapku dengan bangga. Bangga karena telah menyelamatkan nyawa anaknya sendiri.

Saras, Jatinangor, penghujung tahun

[..]

Pramoedya Ananta Toer

Pramoedya Ananta Toer (lahir di Blora, Jawa Tengah, 6 Februari 1925 – meninggal di Jakarta, 30 April 2006 pada umur 81 tahun), secara luas dianggap sebagai salah satu pengarang yang produktif dalam sejarah sastra Indonesia. Pramoedya telah menghasilkan lebih dari 50 karya dan diterjemahkan ke dalam lebih dari 41 bahasa asing.

Masa kecil


Pramoedya dilahirkan di Blora, di jantung Pulau Jawa, pada1925 sebagai anak sulung dalam keluarganya. Ayahnya adalah seorang guru, sedangkan ibunya berdagang nasi. Nama asli Pramoedya adalah Pramoedya Ananta Mastoer, sebagaimana yang tertulis dalam koleksi cerita pendek semi-otobiografinya yang berjudul Cerita Dari Blora. Karena nama keluarga Mastoer (nama ayahnya) dirasakan terlalu aristokratik, ia menghilangkan awalan Jawa "Mas" dari nama tersebut dan menggunakan "Toer" sebagai nama keluarganya. Pramoedya menempuh pendidikan pada Sekolah Kejuruan Radio diSurabaya, dan kemudian bekerja sebagai juru ketik untuk surat kabarJepang di Jakarta selama pendudukan Jepang di Indonesia.
Pasca kemerdekaan Indonesia

Pramoedya semasa muda
Pada masa kemerdekaan Indonesia, ia mengikuti kelompok militer di Jawa dan kerap ditempatkan di Jakarta pada akhir perang kemerdekaan. Ia menulis cerpen serta buku di sepanjang karier militernya dan ketika dipenjara Belanda di Jakarta pada 1948 dan 1949. Pada 1950-an ia tinggal di Belanda sebagai bagian dari program pertukaran budaya, dan ketika kembali ke Indonesia ia menjadi anggota Lekra, salah satu organisasi sayap kiri di Indonesia. Gaya penulisannya berubah selama masa itu, sebagaimana yang ditunjukkan dalam karyanya Korupsi, fiksi kritik pada pamong praja yang jatuh di atas perangkap korupsi. Hal ini menciptakan friksi antara dia dan pemerintahan Soekarno.
Selama masa itu, ia mulai mempelajari penyiksaan terhadap Tionghoa Indonesia, kemudian pada saat yang sama, ia pun mulai berhubungan erat dengan para penulis di Tiongkok. Khususnya, ia menerbitkan rangkaian surat-menyurat dengan penulis Tionghoa yang membicarakan sejarah Tionghoa di Indonesia, berjudul Hoakiau di Indonesia. Ia merupakan kritikus yang tak mengacuhkan pemerintahan Jawa-sentris pada keperluan dan keinginan dari daerah lain di Indonesia, dan secara terkenal mengusulkan bahwa pemerintahan mesti dipindahkan ke luar Jawa. Pada 1960-an ia ditahan pemerintahan Soeharto karena pandangan pro-Komunis Tiongkoknya. Bukunya dilarang dari peredaran, dan ia ditahan tanpa pengadilan diNusakambangan di lepas pantai Jawa, dan akhirnya di pulau Buru di kawasan timur Indonesia.
Penahanan dan masa setelahnya
Selain pernah ditahan selama 3 tahun pada masa kolonial dan 1 tahun pada masa Orde Lama, selama masaOrde Baru Pramoedya merasakan 14 tahun ditahan sebagai tahanan politik tanpa proses pengadilan.
• 13 Oktober 1965 - Juli 1969
• Juli 1969 - 16 Agustus 1969 di Pulau Nusakambangan
• Agustus 1969 - 12 November 1979 di Pulau Buru
• November - 21 Desember 1979 di Magelang

Pramoedya bersama rekan-rekan saat sedang melakukan kerja paksa di pulau Buru
Ia dilarang menulis selama masa penahanannya diPulau Buru, namun tetap mengatur untuk menulis serial karya terkenalnya yang berjudulBumi Manusia, serial 4 kronik novel semi-fiksi sejarah Indonesia. Tokoh utamanya Minke, bangsawan kecil Jawa, dicerminkan pada pengalaman RM Tirto Adisuryo seorang tokoh pergerakkan pada zaman kolonial yang mendirikan organisasi Sarekat Priyayi dan diakui oleh Pramoedya sebagai organisasi nasional pertama. Jilid pertamanya dibawakan secara oral pada para kawan sepenjaranya, dan sisanya diselundupkan ke luar negeri untuk dikoleksi pengarang Australia dan kemudian diterbitkan dalam bahasa Inggris dan Indonesia.
Pramoedya dibebaskan dari tahanan pada 21 Desember 1979 dan mendapatkan surat pembebasan secara hukum tidak bersalah dan tidak terlibat G30S/PKI, tapi masih dikenakan tahanan rumah di Jakarta hingga1992, serta tahanan kota dan tahanan negara hingga 1999, dan juga wajib lapor satu kali seminggu keKodim Jakarta Timur selama kurang lebih 2 tahun.
Selama masa itu ia menulis Gadis Pantai, novel semi-fiksi lainnya berdasarkan pengalaman neneknya sendiri. Ia juga menulis Nyanyi Sunyi Seorang Bisu (1995), otobiografi berdasarkan tulisan yang ditulisnya untuk putrinya namun tak diizinkan untuk dikirimkan, dan Arus Balik (1995).
Kontroversi
Ketika Pramoedya mendapatkan Ramon Magsaysay Award, 1995, diberitakan sebanyak 26 tokoh sastra Indonesia menulis surat 'protes' ke yayasan Ramon Magsaysay. Mereka tidak setuju, Pramoedya yang dituding sebagai "jubir sekaligus algojo Lekra paling galak, menghantam, menggasak, membantai dan mengganyang" di masa demokrasi terpimpin, tidak pantas diberikan hadiah dan menuntut pencabutan penghargaan yang dianugerahkan kepada Pramoedya.
Tetapi beberapa hari kemudian, Taufik Ismail sebagai pemrakarsa, meralat pemberitaan itu. Katanya, bukan menuntut 'pencabutan', tetapi mengingatkan 'siapa Pramoedya itu'. Katanya, banyak orang tidak mengetahui 'reputasi gelap' Pram dulu. Dan pemberian penghargaan Magsaysay dikatakan sebagai suatu kecerobohan. Tetapi di pihak lain, Mochtar Lubis malah mengancam mengembalikan hadiah Magsaysay yang dianugerahkan padanya di tahun 1958, jika Pram tetap akan dianugerahkan hadiah yang sama.
Lubis juga mengatakan, HB Jassin pun akan mengembalikan hadiah Magsaysay yang pernah diterimanya. Tetapi, ternyata dalam pemberitaan berikutnya, HB Jassin malah mengatakan yang lain sama sekali dari pernyataan Mochtar Lubis.
Dalam berbagai opini-opininya di media, para penandatangan petisi 26 ini merasa sebagai korban dari keadaan pra-1965. Dan mereka menuntut pertanggungan jawab Pram, untuk mengakui dan meminta maaf akan segala peran 'tidak terpuji' pada 'masa paling gelap bagi kreativitas' pada zaman Demokrasi Terpimpin. Pram, kata Mochtar Lubis, memimpin penindasan sesama seniman yang tak sepaham dengannya.
Sementara Pramoedya sendiri menilai segala tulisan dan pidatonya di masa pra-1965 itu tidak lebih dari 'golongan polemik biasa' yang boleh diikuti siapa saja. Dia menyangkal terlibat dalam pelbagai aksi yang 'kelewat jauh'. Dia juga merasa difitnah, ketika dituduh ikut membakar buku segala. Bahkan dia menyarankan agar perkaranya dibawa ke pengadilan saja jika memang materi cukup. Kalau tidak cukup, bawa ke forum terbuka, katanya, tetapi dengan ketentuan saya boleh menjawab dan membela diri, tambahnya.
Semenjak Orde Baru berkuasa, Pramoedya tidak pernah mendapat kebebasan menyuarakan suaranya sendiri, dan telah beberapa kali dirinya diserang dan dikeroyok secara terbuka di koran.
Tetapi dalam pemaparan pelukis Joko Pekik, yang juga pernah menjadi tahanan di Pulau Buru, ia menyebut Pramoedya sebagai 'juru-tulis'. Pekerjaan juru-tulis yang dimaksud oleh Joko Pekik adalah Pramoedya mendapat 'pekerjaan' dari petugas Pulau Buru sebagai tukang ketiknya mereka. Bahkan menurut Joko Pekik, nasib Pramoedya lebih baik dari umumnya tahanan yang ada. Statusnya sebagai tokoh seniman yang oleh media disebar-luaskan secara internasional, menjadikan dia hidup dengan fasilitas yang lumayan - apalagi kalau ada tamu dari 'luar' yang datang pasti Pramoedya akan menjadi 'bintangnya'.


Masa tua
Pramoedya telah menulis banyak kolom dan artikel pendek yang mengkritik pemerintahan Indonesia terkini. Ia menulis buku Perawan Remaja dalam Cengkraman Militer, dokumentasi yang ditulis dalam gaya menyedihkan para wanita Jawa yang dipaksa menjadi wanita penghibur selama masa pendudukan Jepang. Semuanya dibawa ke Pulau Buru di mana mereka mengalami kekerasan seksual, mengakhiri tinggal di sana daripada kembali ke Jawa. Pramoedya membuat perkenalannya saat ia sendiri merupakan tahanan politik di Pulau Buru selama masa 1970-an.
Banyak dari tulisannya menyentuh tema interaksi antarbudaya; antara Belanda, kerajaan Jawa, orang Jawa secara umum, dan Tionghoa. Banyak dari tulisannya juga semi-otobiografi, di mana ia menggambar pengalamannya sendiri. Ia terus aktif sebagai penulis dan kolumnis. Ia memperoleh Ramon Magsaysay Award untuk Jurnalisme, Sastra, dan Seni Komunikasi Kreatif 1995. Ia juga telah dipertimbangkan untukHadiah Nobel Sastra. Ia juga memenangkan Hadiah Budaya Asia Fukuoka XI 2000 dan pada 2004 Norwegian Authors' Union Award untuk sumbangannya pada sastra dunia. Ia menyelesaikan perjalanan ke Amerika Utara pada 1999 dan memperoleh penghargaan dari Universitas Michigan.
Sampai akhir hayatnya ia aktif menulis, walaupun kesehatannya telah menurun akibat usianya yang lanjut dan kegemarannya merokok. Pada 12 Januari 2006, ia dikabarkan telah dua minggu terbaring sakit di rumahnya di Bojong Gede, Bogor, dan dirawat di rumah sakit. Menurut laporan, Pramoedya menderitadiabetes, sesak napas dan jantungnya melemah.
Pada 6 Februari 2006 di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki, diadakan pameran khusus tentang sampul buku dari karya Pramoedya. Pameran ini sekaligus hadiah ulang tahun ke-81 untuk Pramoedya. Pameran bertajukPram, Buku dan Angkatan Muda menghadirkan sampul-sampul buku yang pernah diterbitkan di mancanegara. Ada sekitar 200 buku yang pernah diterjemahkan ke berbagai bahasa dunia.
Berpulang

Muthmainah, Istri Pramoedya
Pada 27 April 2006, Pram sempat tak sadar diri. Pihak keluarga akhirnya memutuskan membawa dia ke RS Sint Carolus hari itu juga. Pram didiagnosis menderita radang paru-paru, penyakit yang selama ini tidak pernah menjangkitinya, ditambah komplikasi ginjal, jantung, dan diabetes.
Pram hanya bertahan tiga hari di rumah sakit. Setelah sadar, dia kembali meminta pulang. Meski permintaan itu tidak direstui dokter, Pram bersikeras ingin pulang. Sabtu 29 April, sekitar pukul 19.00, begitu sampai di rumahnya, kondisinya jauh lebih baik. Meski masih kritis, Pram sudah bisa memiringkan badannya dan menggerak-gerakkan tangannya.
Kondisinya sempat memburuk lagi pada pukul 20.00. Pram masih dapat tersenyum dan mengepalkan tangan ketika sastrawan Eka Budianta menjenguknya. Pram juga tertawa saat dibisiki para penggemar yang menjenguknya bahwa Soeharto masih hidup. Kondisi Pram memang sempat membaik, lalu kritis lagi. Pram kemudian sempat mencopot selang infus dan menyatakan bahwa dirinya sudah sembuh. Dia lantas meminta disuapi havermut dan meminta rokok. Tapi, tentu saja permintaan tersebut tidak diluluskan keluarga. Mereka hanya menempelkan batang rokok di mulut Pram tanpa menyulutnya. Kondisi tersebut bertahan hingga pukul 22.00.
Setelah itu, beberapa kali dia kembali mengalami masa kritis. Pihak keluarga pun memutuskan menggelar tahlilan untuk mendoakan Pram. Pasang surut kondisi Pram tersebut terus berlangsung hingga pukul 02.00. Saat itu, dia menyatakan agar Tuhan segera menjemputnya. "Dorong saja saya," ujarnya. Namun, teman-teman dan kerabat yang menjaga Pram tak lelah memberi semangat hidup. Rumah Pram yang asri tidak hanya dipenuhi anak, cucu, dan cicitnya. Tapi, teman-teman hingga para penggemarnya ikut menunggui Pram.

Makam Pramoedya dipenuhi karangan bunga dan buku-buku karyanya
Kabar meninggalnya Pram sempat tersiar sejak pukul 03.00. Tetangga-tetangga sudah menerima kabar duka tersebut. Namun, pukul 05.00, mereka kembali mendengar bahwa Pram masih hidup. Terakhir, ketika ajal menjemput, Pram sempat mengerang, "Akhiri saja saya. Bakar saya sekarang," katanya.
Pada 30 April 2006 pukul 08.55 Pramoedya wafat dalam usia 81 tahun.
Ratusan pelayat tampak memenuhi rumah dan pekarangan Pram di Jalan Multikarya II No 26, Utan Kayu, Jakarta Timur. Pelayat yang hadir antara lain Sitor Situmorang, Erry Riyana Hardjapamekas, Nurul Arifin dan suami, Usman Hamid, Putu Wijaya, Goenawan Mohamad, Gus Solah, Ratna Sarumpaet, Budiman Sujatmiko, serta puluhan aktivis, sastrawan, dan cendekiawan. Hadir juga Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik. Terlihat sejumlah karangan bunga tanda duka, antara lain dari KontraS, Wapres Jusuf Kalla, artisHappy Salma, pengurus DPD PDI Perjuangan, Dewan Kesenian Jakarta, dan lain-lain. Teman-teman Pram yang pernah ditahan di Pulau Buru juga hadir melayat. Temasuk para anak muda fans Pram.
Jenazah dimandikan pukul 12.30 WIB, lalu disalatkan. Setelah itu, dibawa keluar rumah untuk dimasukkan ke ambulans yang membawa Pram ke TPU Karet Bivak. Terdengar lagu Internationale dan Darah Juangdinyanyikan di antara pelayat.
Penghargaan

Pramoedya saat mendapat gelar kehormatan Doctor of Humane Letters dari Universitas Michigan tahun 1999
• Freedom to Write Award dari PEN American Center, AS, 1988
• Penghargaan dari The Fund for Free Expression, New York, AS, 1989
• Wertheim Award, "for his meritorious services to the struggle for emancipation of Indonesian people", dari The Wertheim Fondation, Leiden, Belanda, 1995
• Ramon Magsaysay Award, "for Journalism, Literature, and Creative Arts, in recognation of his illuminating with briliant stories the historical awakening, and modern experience of Indonesian people", dari Ramon Magsaysay Award Foundation, Manila, Filipina, 1995
• UNESCO Madanjeet Singh Prize, "in recognition of his outstanding contribution to the promotion of tolerance and non-violence" dari UNESCO, Perancis, 1996
• Doctor of Humane Letters, "in recognition of his remarkable imagination and distinguished literary contributions, his example to all who oppose tyranny, and his highly principled struggle for intellectual freedom" dari Universitas Michigan, Madison, AS, 1999
• Chancellor's distinguished Honor Award, "for his outstanding literary archievements and for his contributions to ethnic tolerance and global understanding", dari Universitas California, Berkeley, AS, 1999
• Chevalier de l'Ordre des Arts et des Letters, dari Le Ministre de la Culture et de la Communication Republique, Paris, Perancis, 1999
• New York Foundation for the Arts Award, New York, AS, 2000
• Fukuoka Cultural Grand Prize (Hadiah Budaya Asia Fukuoka), Jepang, 2000
• The Norwegian Authors Union, 2004
• Centenario Pablo Neruda, Chili, 2004
Lain-lain
• Anggota Nederland Center, ketika masih di Pulau Buru, 1978
• Anggota kehormatan seumur hidup dari International PEN Australia Center, 1982
• Anggota kehormatan PEN Center, Swedia, 1982
• Anggota kehormatan PEN American Center, AS, 1987
• Deutschsweizeriches PEN member, Zentrum, Swiss, 1988
• International PEN English Center Award, Inggris, 1992
• International PEN Award Association of Writers Zentrum Deutschland, Jerman, 1999
Bibliografi
Kecuali judul pertama, semua judul sudah disesuaikan ke dalam Ejaan Yang Disempurnakan.
• Sepoeloeh Kepala Nica (1946), hilang di tangan penerbit Balingka, Pasar Baru, Jakarta, 1947
• Kranji–Bekasi Jatuh (1947), fragmen dari Di Tepi Kali Bekasi
• Perburuan (1950), pemenang sayembara Balai Pustaka, Jakarta, 1949 (dicekal oleh pemerintah karena muatan komunisme)
• Keluarga Gerilya (1950)
• Subuh (1951), kumpulan 3 cerpen
• Percikan Revolusi (1951), kumpulan cerpen
• Mereka yang Dilumpuhkan (I & II) (1951)
• Bukan Pasarmalam (1951)
• Di Tepi Kali Bekasi (1951), dari sisa naskah yang dirampas Marinir Belanda pada 22 Juli 1947
• Dia yang Menyerah (1951), kemudian dicetak ulang dalam kumpulan cerpen
• Cerita dari Blora (1952), pemenang karya sastra terbaik dari Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional, Jakarta, 1953
• Gulat di Jakarta (1953)
• Midah Si Manis Bergigi Emas (1954)
• Korupsi (1954)
• Mari Mengarang (1954), tak jelas nasibnya di tangan penerbit
• Cerita Dari Jakarta (1957)
• Cerita Calon Arang (1957)
• Sekali Peristiwa di Banten Selatan (1958)
• Panggil Aku Kartini Saja (I & II, 1963; bagian III dan IV dibakar Angkatan Darat pada 13 Oktober1965
• Kumpulan Karya Kartini, yang pernah diumumkan di berbagai media; dibakar Angkatan Darat pada 13 Oktober 1965
• Wanita Sebelum Kartini; dibakar Angkatan Darat pada 13 Oktober 1965
• Gadis Pantai (1962-65) dalam bentuk cerita bersambung, bagian pertama triologi tentang keluarga Pramoedya; terbit sebagai buku, 1987; dilarang Jaksa Agung; jilid kedua dan ketiga dibakar Angkatan Darat pada 13 Oktober 1965
• Sejarah Bahasa Indonesia. Satu Percobaan (1964); dibakar Angkatan Darat pada 13 Oktober 1965
• Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia (1963)
• Lentera (1965), tak jelas nasibnya di tangan penerbit
• Bumi Manusia (1980); dilarang Jaksa Agung, 1981
• Anak Semua Bangsa (1981); dilarang Jaksa Agung, 1981
• Sikap dan Peran Intelektual di Dunia Ketiga (1981)
• Tempo Doeloe (1982), antologi sastra pra-Indonesia
• Jejak Langkah (1985); dilarang Jaksa Agung, 1985
• Sang Pemula (1985); dilarang Jaksa Agung, 1985
• Hikayat Siti Mariah, (ed.) Hadji Moekti, (1987); dilarang Jaksa Agung, 1987
• Rumah Kaca (1988); dilarang Jaksa Agung, 1988
• Memoar Oei Tjoe Tat, (ed.) Oei Tjoe Tat, (1995); dilarang Jaksa Agung, 1995
• Nyanyi Sunyi Seorang Bisu I (1995); dilarang Jaksa Agung, 1995
• Arus Balik (1995)
• Nyanyi Sunyi Seorang Bisu II (1997)
• Arok Dedes (1999)
• Mangir (2000)
• Larasati (2000)
• Jalan Raya Pos, Jalan Daendels (2005)
Buku tentang Pramoedya dan karyanya
• Pramoedya Ananta Toer dan Karja Seninja, oleh Bahrum Rangkuti (Penerbit Gunung Agung)
• Citra Manusia Indonesia dalam Karya Pramoedya Ananta Toer, oleh A. Teeuw (Pustaka Jaya)
• Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis, oleh Eka Kurniawan (Gramedia Pustaka Utama)
• Membaca Katrologi Bumi Manusia Pramoedya Ananta Toer, oleh Apsanti Djokosujatno (Tera Indonesia)
• Pramoedya Ananta Toer dan Manifestasi Karya Sastra, Daniel Mahendra, dkk (Penerbit Malka)

#1000 Wajah Pram Dalam Kata dan Sketsa
sumber; Wikipedia Indonesia [..]

Rabu, 13 April 2011

Kastanisasi Pendidikan: Menjajah dari Dalam

Dunia pendidikan di Indonesia nampaknya sedang “mati suri”. Entah mengapa, pendidikan seolah menjadi kebutuhan mewah bagi rakyat kebanyakan. Padahal, pendidikan adalah hal pokok yang mau tidak mau harus dijalankan dengan baik, tentu agar semua lapisan masyarakat bisa menikmatinya. Tetapi kenyataannya tidak demikian, ilmu pengetahuan dijadikan semacam komoditas, sehingga bila ingin mendapatkannya, rakyat harus membayar mahal. Satu hal yang musti diperhatikan, Indonesia telah didaulat sebagai negara merdeka, pantaskah masih ada praktik-praktik pengkastaan dalam pendidikan?

Pengkastaan pendidikan sudah terjadi dan terlihat sangat kentara sejak bangsa asing menjajah Indonesia. Rakyat pribumi tidak dibiarkan bersekolah begitu saja, penjajah sengaja menutup akses pendidikan rapat-rapat. Orang Belanda misalnya, mereka datang ke Indonesia bukan sekadar menaklukkan, tetapi juga memeras sumber daya alam dan manusia Indonesia sebanyak mungkin.
Sumber daya alam berarti segala bentuk kekayaan bumi yang berpotensi sebagai mesin ekonomi, sedangkan sumber daya manusia Indonesia dimanfaatkan sebagai tenaga-tenaga murah, bahkan gratis. Jika waktu itu pendidikan dibebaskan, ilmu pengetahuan disebarkan, berarti sama saja penjajah melucuti senjatanya sendiri.

Bung Karno, dalam pidatonya, pernah mengatakan, Indonesia punya proses panjang menuju kemerdekaan. Awalnya dimulai dari tahap Perintis, Penegas, Pencoba, Pendobrak, dan Pelaksana. Tahap Perintis adalah orang-orang yang membangkitkan serta menyadarkan massa, bila rakyat ingin hidup layak maka harus merdeka, bila ingin merdeka berarti harus berusaha. Tahap Penegas adalah orang-orang yang menegaskan, Indonesia harus benar-benar punya tekad merdeka. Tahap Pencoba tak lain adalah mereka yang pandai berdiplomasi. Namun karena diplomasi dianggap gagal, maka semangat kemerdekaan itu harus benar-benar didobrak, inilah tahap Pendobrak. Dan setelah Proklamasi, generasi selanjutnya itu disebut Pelaksana.

Pertanyaannya, sudahkah Indonesia melaksanakan amanah itu dengan baik, agar rakyat hidup layak tanpa adanya penjajahan dalam bentuk apapun? Lalu siapakah yang bertugas sebagai Pelaksana? Kita pun pasti menjawab, rakyat Indonesia yang hidup dalam masa merdeka inilah yang bertanggung jawab.

Sebagai negara yang berdaulat dan menganut trias politika—Eksekutif, Legeslatif, Yudikatif—maka orang-orang yang duduk dalam ketiga golongan itu, dianggap mewakili rakyat sebagai pengatur negara. Dari gambaran itu, secara tidak langsung maupun langsung, rakyat memberikan kepercayaan kepada mereka—misalnya melalui pemilihan umum—dengan tujuan rakyat Indonesia hidup layak, yaitu sebagaimana cita-cita tokoh Perintis Kemerdekaan. Tujuan tersebut salah satunya adalah pendidikan.

Namun melihat kenyataan sekarang, rasanya dunia pendidikan kita masih dalam cengkeraman penjajahan. Kastanisasi pendidikan terlihat menonjol, pemerataan pendidikan belum bisa dilakukan dengan baik. Alasan yang dilontarkan pemerintah selalu sama, yaitu karena kemiskinan masih menjangkit di pelosok negeri dan berjanji meminimalisirnya, sehingga peningkatan pendidikan dikesampingkan.

Tetapi toh kenyataannya kemiskinan masih besar, tingkat pengangguran tinggi. Lalu kapan pendidikan di Indonesia akan maju bila harus menunggu kemiskinan terpecahkan? Manakah yang harus didahulukan, kemiskinan atau pendidikan?

Jawabannya sederhana, kalau pemerintah mau mengkaji sejarah peradaban negara-negara maju, tak lupa pula pada sejarah sendiri, maka itu bukan pilihan yang sulit. Cina dan Jepang misalnya, mereka pada masa perang dunia mengirimkan para pemudanya menyebar ke berbagai negara untuk mencari ilmu, kemudian kembali ke negaranya untuk menyebarkan ilmu pengetahuan yang didapatnya.
Negara-negara maju selalu berpegang pada ilmu pengetahuan, sebab mereka sadar ilmu pengetahuan mampu memajukan bangsanya. Sehingga generasi sesudah mereka benar-benar didukung dalam pendidikan, segala sesuatu yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan difasilitasi sangat baik, bahkan mereka menyambut hangat orang-orang luar yang mau belajar padanya.

Sebenarnya kesadaran berpendidikan di Indonesia sudah digembleng sejak masa Ki Hajar Dewantara, saat itu banyak tokoh pendidikan yang bermunculan. Namun mengapa sekarang semangat itu pudar? Mengapa seluruh rakyat, termasuk yang paling miskin, tidak mendapatkan hak itu? Padahal, dalam Pancasila—sebagai landasan negara—disebutkan dengan jelas tentang keadilan dan kesetaraan.

Pengkastaan pendidikan tidak selalu mengenai biaya, bisa juga berhubungan dengan fasilitas sekolah. Sebut saja sekolah di perkotaan dan di daerah pelosok, fasilitas yang diberikan sangat berbeda. Siswa di perkotaan cenderung mendapat perhatian tinggi, sedangkan di daerah sangat rendah. Apalagi bila melihat Sekolah Berstandar Internasional yang mulai bermunculan, namun nyatanya, anggaran besar yang dikeluarkan tidak sebanding dengan pelaksanaannya.

Faktornya banyak, mulai dari pengawasan yang lemah, sampai tindak korupsi yang kuat. Kesenjangan ini pun bisa kita jumpai pada sekolah negeri dan swasta, khususnya pendidikan tinggi. Seharusnya, pemerintah melakukan standarisasi sekolah swasta, terutama pada masalah fasilitas. Tujuannya agar sekolah negeri dan swasta tidak terpaut jauh perbedaan fasilitasnya, meskipun biaya agak berbeda. Namun yang harus ditegaskan, institusi pendidikan bukan lahan meraup keuntungan, tetapi ada sisi pencerdasan—diakui atau tidak, negeri atau swasta, sudah bertindak sebagai kapitalis pendidikan.

Bila ditelisik lebih dalam, banyak sekali sekolah swasta di Indonesia yang abai terhadap fasilitas. Hal ini menjadi penting karena Indonesia harus menciptakan sarjana-sarjana professional di bidangnya, pada setiap tahunnya. Kaum terdidik inilah yang kelak mampu menopang negeri ini.

Pascarevolusi Mesir, beberapa mahasiswa Mesir asal Indonesia diwawancarai sebuah stasiun televisi swasta Indonesia. Mereka mengaku sangat senang belajar di Mesir, sebab fasilitas terjamin, segala akses dimudahkan. “Saya sangat dihormati di sana, meskipun saya bukan asli orang Mesir,” ungkapnya.

Pernyataan ini membuktikan, anak bangsa lebih dihargai dan mendapat hak-haknya di luar negeri ketimbang di negaranya sendiri. Jangan sampai rasa nasionalisme generasi muda tergerus, walau bagaimanapun, generasi muda adalah generasi penerus sekaligus pelurus—meneruskan cita-cita Republik, meluruskan budaya-budaya bengkok.

Sudah saatnya Indonesia melakukan percepatan di dunia pendidikan. Bila tidak, kita akan tertinggal jauh dari negara-negara lain. Rakyat sudah bosan dengan bermacam intrik politik yang dilakukan pemerintah, baik Eksekutif, Legislatif, Yudikatif. Apalagi kalau Lembaga Pemberantas Korupsi, Media Massa, serta Organisasi Mahasiswa maupun Masyarakat, sudah dicandui kepentingan politik. Jangan biarkan rakyat terlalu lama hidup dalam kecemasan, menunggu, bahkan akhirnya pasrah pada keterpurukan bangsanya. Sejarah masih ada, jangan sekali-kali lupakan sejarah!
[..]

Minggu, 10 April 2011

Bahasa Indonesia: Melawan Imperialisme

Bahasa Indonesia mulai tercerabut dari akarnya. Sekolah-sekolah dibiarkan menggunakan pengantar bahasa asing. Ini tentu tak akan jadi persoalan jika pelajar Indonesia sudah piawai dan pandai berbahasa Indonesia. Namun kenyataannya, pemerintah justru bangga dengan bahasa negara lain. Presiden Indonesia, yang seharusnya memupuk nasionalisme lewat bahasa, ternyata malah mengecewakan. Kita bisa melihat bagaimana presiden SBY cas-cis-cus saat berpidato. Apakah presiden lupa dengan sejarah bangsanya?


Sekadar menilik masa lampau, Indonesia adalah salah satu negara—bekas jajahan—yang mempunyai bahasa asli. Bangsa jajahan pada umumya menggunakan bahasa resmi negara penjajahnya. Penjajah sengaja menciptakan sebuah absolutisme kekuasaannya lewat bahasa, mereka yang terjajah tak mempunyai kedaulatan berbahasa. Indonesia patut bangga, sebab bahasa Indonesia merupkan manifestasi perlawanan terhadap imperialsme.

Ada yang sedikit janggal penjajahan Belanda di Indonesia, mereka justru tak membiarkan pribumi menguasai bahasa mereka. Kalau pun toh ada pribumi yang menguasai, ia tidak sembarangan menggunakannya, apalagi bila ia hanya pribumi biasa. Belanda melihat adanya kastanisasi dalam bahasa Jawa misalnya, maka dengan itu Belanda memanfaatkan agar rakyat kian terpuruk.

Dalam bahasa Jawa, penggunaan tutur disesuaikan dengan derajat sosial di masyarakat, atau berdasarkan batasan-batasan tertentu lainnya. Contoh, seorang jelata harus menggunakan bahasa Jawa halus (krama inggil) kepada sang raja, tetapi sang raja diharuskan membalas dengan Jawa kasar. Begitu pun orang tua dan anak. Dalam keadaan inilah Belanda berperan bak seorang Raja, ia bebas menggunakan bahasa Jawa kasar terhadap siapapun, tetapi rakyat tak dibolehkan berbahasa Belanda.

Ketika diadakan Sumpah Pemuda, bahasa Indonesia dimaklumatkan sebagai bahasa pemersatu. Bahasa Indonesia diambil dari bahasa Melayu. Hal ini disebabkan karena bahasa Melayu pada waktu itu merupakan bahasa yang sudah dikenal luas di dunia perdagangan, khususnya di selat Malaka. Alasan lainnya, bahasa Melayu cenderung terlepas dari bayang-bayang primordialisme atau sifat kedaerahan. Jadi, bahasa Indonesia bukan sekadar media komunikasi, ia juga sebagai benih pemersatu bangsa.

Melihat keadaan sekarang, nampaknya wajar ahli bahasa mengkritik tajam bila bahasa Indonesia mulai ditinggalkan, pemerintah justru membebani anak bangsa dengan bahasa asing. Kalau kita berbahasa Indonesia dengan baik, toh kita tidak dilarang mempelajari bahasa asing. Rasanya sangat lucu kalau anak bangsa cenderung menguasai bahasa asing namun bahasa indonesianya mentah. Kita patut curiga, jangan-jangan optimpisme kita mulai menurun terhadap bahasa Indonesia. Kedaulatan bahasa kita mulai terkikis sedikit demi sedikit. Atau malah pimpinan negara malu menggunakan bahasanya sendiri?
[..]