Jumat, 22 Juli 2011

Menjadi Sastrawan


Untuk yang cinta dan peduli kekusastraan Indonesia.

Sudah lama aku tak berbagi kerusuhan hati dalam diari online ini. Aku hanya mengisinya dengan esai atau resensi yang terbilang serius. Tapi tidak, aku sebenarnya tak seserius itu.

Bila harus kutulis semua keluhanku, barangkali kita akan lelah membacanya: panjang, bertele, dan membosankan. Aku tidak ingin mengeluh. Karena, kata Rendra, hidup bukanlah untuk mengeluh dan mengaduh. Hidup itu bekerja keras!

Tentang kerusuhan hati ini, aku tak menyinggung soal penghidupan keseharian. Ya, hal-hal yang memang permasalahan sehari-hari. Ambillah tak punya uang. Dan, alangkah baiknya bila aku mengungkap kerusuhan yang tak berpaut pada tak punya uang tadi.

Sastra. Aku suka sastra. Aku suka baca dan memuji karya sastra. Apa saja, dan siapa saja pengarangnya. Aku bukan sastrawan, tapi aku suka menulis sastra.

Dalam pandangan orang kebanyakan, sastrawan adalah orang yang menciptakan sebuah karya sastra dan memiliki legitimasi atas karyanya. Dia diakui orang sebagai sastrawan karena karyanya diterima. Parameternya sederhana saja: dimuat di koran atau majalah sastra.

Kalau aku menukil dari kalimat dosen jurnalistikku, koran atau media serupa, mempunyai ruang dan waktu yang tidak terbatas. Media massa dibaca banyak orang, sehingga mempunyai potensi mempengaruhi orang. Menurut hematku, kaitan media massa dengan sastra sangat erat.

Karena ruang dan pengaruhnya yang besar ini, karya sastra, bila dimuat di media massa, sebutlah koran, tentu mempunyai pengaruh yang besar pula. Pembaca koran sebanyak itu lantas tahu bahwa orang yang namanya tercantum dalam judul karya sastra di sebuah kolom, dialah si sastrawan.

Ini membuatku gundah dan tak nyaman. Aku sangat tak setuju (terhadap anggapan orang) bila untuk menjadi seorang sastrawan karyanya terlebih dulu harus dimuat di koran. Mereka punya alibi: bagaimana mungkin seorang sastrawan tak mampu meloloskan karyanya agar dimuat di koran?

Aku yakin, alasan itu tak sepenuhnya salah, tapi juga tak sepenuhnya benar. Eksistensi seorang sastrawan dalam percaturan media massa sangat baik, ini memacu para penulis (muda/kawakan) berlomba-lomba memasuki gelanggang sastra. Sangat positif, dan harus kita akui.

Tapi koran bukan wadah penuh para idealis. Mereka juga mempunyai kepentingan bisnis yang mau tidak mau mesti eksis. Maka, koran tak mau ambil risiko mengecewakan pembaca dengan suguhan bacaan yang tidak sejuk di mata. Apalagi, kolom sastra, kerap dijumpai di hari santai, Minggu.

Di sini kesusastraan kita rancu. Koran akan melakukan hal-hal yang agak menjauh dari risiko. Koran akan membuat suatu konsep kolom sastra (cerpen/puisi) dengan sebaik-baiknya tanpa kehilangan kepercayaan pembaca. Koran akan memilih sebuah warna, lalu menguncinya rapat-rapat warna itu. Dialah warna karya sastra koran, enak dibaca, disukai, dan tak bakal ditinggalkan pembaca.

Koran sangat banyak di negara kita. Hampir semua koran harian membuka rubrik sastra setiap Minggu. Yang harus diperhatikan, setiap koran memiliki kapasitas dan kualitas yang berbeda-beda. Mereka (koran) berlomba-lomba menyuguhkan rubrik sastra terbaiknya. Untuk menjembatani persaingan rubrik sastra antarkoran, akhirnya mereka membuat warna sendiri-sendiri atas karya sastra yang ditampilkan.

Tapi lagi-lagi masyarakat terjebak pada nama koran secara kolektif. Artinya, siapa yang korannya besar (secara organisasi/perusahaan), dialah yang dianggap memilki rubrik sastra terbaik. Karena anggapan itulah koran tersebut menjadi parameter bagi penulis sastra. Padahal seperti yang aku katakan tadi, setiap koran memiliki warnanya sendiri-sendiri.

Tentang warna sastra dalam setiap koran, aku hendak mencontohkan media massa nasional. Koran Kompas misalnya, dia lebih memuat sastra ringan, enak dibaca, dan kadang sedikit genit. Koran Tempo mengutamakan kekuatan bahasa, tersirat, dan kental aroma sastra. Jawa Pos lebih berbau mistik dan bertema lokalitas. Sedangkan Republika sangat kental muatan religius. Semua tentu menarik dan enak dibaca. Dalam hal ini, Kompas paling unggul.

Selain menjadi parameter, koran lamat-lamat membentuk karakter penulisan para pengarang. Bukan koran yang menerima perbedaan gaya penulis, tapi penulislah yang mesti menyesuaikan gaya dan warna koran tersebut. Celakanya, karena pertimbangan pembaca, koran kerap terpikat dengan nama-nama besar untuk mengisi kolomnya.

Kebebasan berkarya para penulis, khususnya generasi baru, menjadi terpasung. Mereka yang masih mencari jati dirinya akhirnya gamang dan menyerah untuk ikut-ikutan dengan gaya penulisan koran. Warna penulis muda terkontaminasi, tidak murni, serta tercekoki ambisi legitimasi sebagai sastrawan. Jika aku boleh menganalogikan, sastrawan kita bagaikan satwa dalam hutan lindung: dia liar dan hidup dalam hutan, tetapi ia tetap tersekat oleh pagar yang membatasi habitatnya dengan dunia luar.

Sekali lagi, kerusuhan hatiku sebagai penikmat sastra, kian tak terpadamkan. Sastra adalah kebebasan, sastra adalah kepribadian, dan sastra adalah lonceng jiwa. Alangkah sayangnya bila sastrawan mesti menyesuaikan koran, rela kehilangan identitas, dan rela terkurung. Aku ingin menjumpai sastrawan-sastrawan kita berlomba-lomba dalam warnanya tanpa tersekat-sekat blok demi blok gaya penulisan koran. Ketika kita membaca karya sastra di sebuah koran tertentu secara terus menerus, maka hanya kesamaan nada yang kita temui.

Suatu kali aku pernah bermain di rumah seorang editor buku, termasuk editor sastra novel. Setelah karya sastraku dikupas dan dikritik olehnya, kami beranjak dari tulisan jelekku itu. Aku mengawalinya sebuah pertanyaan, “Kenapa koran besar seperti kehilangan greget Om? Seolah-olah iramanya selalu sama,” tanyaku.

Dia berdiam sebentar, mungkin agak terkejut. Lalu menjawab enteng:

“Itu tuntutan bisnis. Koran tidak mau menyuguhkan karya sastra yang rumit, sekalipun itu sebenarnya bagus. Cerpen dalam koran sifatnya menghibur.”

Dari jawaban itu aku paham. Ada sedikit rasa kecewa yang menderaku. Aku tak perlu bicara soal kedalaman bila karyaku hendak dimuat di koran, tapi yang terpenting enak dibaca dan menghibur pembaca.

“Tapi mengapa hanya nama-nama besar yang mesti dimuat,” cecarku.

“Karena, nama besar, juga salah satu penarik minat pembaca,” ia menjawab santai lagi.

“Lalu bagaimana dengan aku yang masih belajar ini?”

“Menulislah, berkaryalah. Menuliskan sebuah karya sastra jangan pernah takut pada patokan, terus liarkan imaji, bebaskan dari sekat-sekat apapun.” Ia membenarkan letak kacamatanya, lalu melanjutkan, “Kalau memang mampu, buatlah novel atau roman. Itu lebih baik.”

Pertemuan singkat di teras rumahnya di Pondok Ungu Kota Bekasi itu sangat berkesan. Ia justru banyak bercerita tentang karya sastra terkemuka di dunia. Aku disarankan membaca novel luar misalnya, Snow karya Orhan Pamuk (Turki), atau karya-karya novelis muda Indonesia seperti Larung karya Ayu Utami. Tak luput pula sastrawan besar Indonesia Pramoedya Ananta Toer. Dan kata dia, sastrawan sekarang hanya memenuhi kebutuhan pasar.

“Lihat, ejaan saja sebenarnya banyak yang bobrok,” katanya sebagai ahli bahasa.

Aku insyafi hal ini, aku belum juga menembus kolom-kolom koran itu. Dan sebagai orang yang baru memasuki dunia kepengarangan, aku semakin terpacu untuk menulis. Menjadi sastrawan tidak harus menunggu dimuat di koran, apalagi sampai menafikkan atau menggadaikan kemudaan ide-gagasan kita sebagai anak muda. Aku semakin cemas dengan kebebasan kesusastraan kita.

Hingga kini, pesan darinya masih terngiang-ngiang di telinga. Banyaklah baca..baca..baca..
[..]

Minggu, 17 Juli 2011

Pemberontakan dalam Sebuah Roman


Dia tersentak saat membaca surat dari Blora itu—surat dari ayahnya. Dan yang lebih mengiris hati, sebelumnya, setelah ia bebas dari penjara Belanda, ia pernah mengirim surat untuk ayahnya dengan nada tinggi menyangka sang ayah tak mengurusi adiknya yang sedang sakit keras. Tapi dalam surat itu, tokoh aku, mengetahui bahwa ayahnya pernah dipenjarakan dalam kasus pemberontakan Pesindo. Ia merasa berdosa menyurati seperti itu.

“Aku dapat menggambarkan penderitaanmu dalam ruang yang sangat terbatas, karena aku pernah mengalaminya sendiri ketika pemberontakan P... Penyakit itu diperoleh adikmu waktu dia turut terkurung bersamaku oleh pasukan merah di daerah rawa, di daerah malaria,” tulis ayahnya dalam surat.

Enam bulan berikutnya, seorang paman mengirim surat: “Ayahmu sakit keras, ia dirawat di rumah sakit. Mulanya malaria dan batuk-batuk, ambeien, kemudian ketahuan Tbc.Telah empat kali ayahmu memuntahkan darah. Kalau bisa, pulanglah,”

Pram melukiskan “Bukan Pasar Malam” dengan nada yang tak ambisius, tak seperti roman-romannya yang lain. Kalimat-kalimatnya jujur dan gugup. Polos, bahkan serasa membaca buku harian saja. Tapi dari tulisannya itu ia berhasil memainkan emosi, mengalun deras, juga mengejutkan. Tokoh aku, Pram sendiri, agaknya terkungkung duka mendalam ketika menuliskan karya ini.

Setelah membaca surat dari pamannya, ia lantas berpikir keras agar dapat pulang ke Blora: Pulang—uang—ayah. Keadaan keuangannya saat itu sedang terguncang, ia harus bersepeda menemui kawan-kawannya untuk berhutang. Hatinya berontak melihat mobil-mobil mewah meluncuri jalan, kedengkian membuncah saat dia melewati kantor-kantor pemerintah. Mereka yang berhubungan dengan mobil dan kantor itu hidup penuh kemudahan. Tokoh “aku” mengerdilkan pikirannya sendiri.

“Dan untuk ke Blora ini, aku harus pergi mengelilingi Jakarta dulu dan mendapatkan hutang. Sungguh tidak praktis kehidupan seperti itu.”


Kemunduran ekonomi membuat dia dan istrinya kerap berseteru. Sepanjang perjalanan dari Jakarta ke Blora dia banyak diam. Sesekali bila dia ingin mengungkapkan sesuatu, istrinya tidak mengacuhkan. Dan dalam kegundahan hati seorang anak yang mencemaskan ayahnya, istrinya seolah tak peduli.

”Kita jangan lama-lama di sana. Ingat keuangan kita,” kata sang istri.


Tokoh “aku” mengerti, tali pernikahannya kian rantas. Sikap istrinya berubah drastis. Dia merasa bersalah tak dapat memenuhi kebutuhan ekonomi keduanya. Tapi dia, yang saat itu hanya mengandalkan uang dari menulis, hanya bisa menerima pemberontakan batin istrinya.

“Dulu—dulu sebelum bertunangan—matanya amat bagus dalam perasaanku. Tapi kebagusan itu telah lenyap sekarang," ucapnya.

Tanah kelahiran yang dia tinggalkan berpuluh tahun itu tidak banyak berubah. Yang berubah hanyalah waktu, dan waktu telah menuakan usia: usia dia, adiknya, ayahnya. Semangat keperwiraannya dalam revolusi akhirnya luruh ketika dihadapkan pada kenyataan baru: Ia menemukan ayahnya tergolek sakit digerogoti Tbc, adik perempuannya sakit, anggota keluarganya banyak tapi miskin, rumah tuanya yang tak kuat lagi menahan arus waktu. Peperangan telah memisahkan mereka begitu lama, juga telah memisahkan dia dan ibunya untuk selamanya. Sebagai anak sulung, ia terpukul.

“Perang memang kutukan untuk manusia, Adikku. Ia menyuruh manusia mendekati dirinya sendiri. Karena, Adikku, dalam sendiri itu terletak segala-galanya yang ada di dunia, yang dirasakan juga oleh setiap orang.”

Dia tak sanggup menahan haru saat bertemu dengan ayahnya di rumahsakit. Ada semacam kekuatan batin yang saling berpautan. Badan ayahnya begitu kurus menyerupai sebilah papan. Matanya telah cekung dan kebiru-biruan. Tangis dua manusia itu pecah. Tokoh aku menggambarkan dalam tulisannya, “Aku tahu: ayah menangis, dan tangis itu tiada bertenaga.”

Seminggu dia di sana, kesehatan sang ayah tak kunjung membaik. Istri dia kembali mendesak agar keduanya pulang karena ekonomi tak memungkinkan. Ucapan itu dibenarkan olehnya, dan dia mengucapkan pada sang ayah. Mendengar ucapan itu, ayahnya nampak sedih.

“Nanti dulu ya? Seminggu lagi,” ucap ayahnya. Dan dia menyesal mengucapkan itu pada ayahnya.

Pramoedya tetap kritikus yang masyhur. Dia mengungkapkan kekecewaannya ketika sang ayah ditelantarkan oleh pihak rumah sakit, seorang pegawai rumahsakit hanya peduli dengan uang, dan bagaimana perawat-perawat muda membiarkan ayahnya ketika mengerang minta tolong. Hingga akhirnya ia memutuskan sang ayah dibawa pulang dan meninggal beberapa hari kemudian.

Namun dalam rentetan peristiwa itu, Pram menuliskan sesuatu yang agak menjauhi realisme tanpa kehilangan identitasnya sebagai realis. Dia banyak bercerita mistik Jawa. Dituliskannya, “aku” dan sang paman mencari dukun barangkali mampu menyembuhkan penyakit ayahnya yang tak sembuh-sembuh. Tapi Pram juga mementahkan mitos tersebut.

“Air yang yang telah dicampur dupa dari sang dukun itu tak membuahkan hasil apa pun.”

Menuliskan “Bukan Pasar Malam”, Pram tidak menelan bulat-bulat aliran mistik Jawa ini. Dia menggabungkan antara metafisis dengan permenungan religius. Pram menuliskan sang ayah yang berkata:

“Di dinding itu ada sembilanpuluh sembilan butir jagung yang ditembakkan ke sini, mereka saling bersayembara. Tidak ada yang kena. Ini berkat lindungan-Nya.”

“Bukan Pasar Malam” sarat dengan penuturan yang gamang. Goenawan Mohamad menyebutnya (tokoh aku) sebagai “orang yang memiliki optimisme tanpa harapan”. Selalu berubah-ubah, seperti kehilangan semangat—putus asa. Tidak menggebu-gebu, tapi dinamika cerita begitu kental. Pada akhirnya Pramoedya tetap bersimpul pada realisme. Seperti yang tergambar dalam ucapan sang ayah waktu menjelang ajal :

“Aku ini anak ulama. Tapi aku tak mau jadi ketib. Aku tak mau jadi naib. Aku tak mau jadi penghulu. Aku mau jadi nasionalis. Karena itu aku jadi guru, membukakan pintu hati anak-anak untuk pergi ke taman patriotisme. Berat, tapi aku rela jadi seorang nasionalis. Aku rela jadi kurban semua ini.


Ayahnya gugur di lapangan politik. Dia dilupakan dari sejarah. Dia dicibir banyak orang karena dianggap bersekutu dengan Belanda. Perjuangan sang ayah berpuluh-puluh tahun untuk masyarakat sia-sia belaka. Para jenderal yang dulu bergerilya bersama saling berebut tahta, buah revolusi hanya jadi jembatan menaiki jabatan. Sang ayah tak mau itu, dia tetap menjadi guru. Dan seperti yang dikatakan sang ayah, tugas seorang guru adalah menjadi pendidik yang sebaik-baiknya.

Di penghujung cerita, Pramoedya seolah-oleh tengah memetik pelajaran dari peristiwa duka itu dan menjadikannya pesan tentang kematian.

“Dan di dunia ini, manusia bukan berduyun-duyun lahir ke dunia dan berduyun-duyun pula kembali pulang..seperti dunia dalam pasar malam. Seorang-seorang mereka datang...dan pergi. Dan yang belum pergi dengan cemas-cemas menunggu saat nyawanya terbang entah ke mana.”

Resensi Roman Bukan Pasar Malam Pramoedya ini pernah dipublikasikan di bekasiterkini.com
[..]