Jumat, 28 Oktober 2011

Perlawanan dari Balik Lukisan

Oleh: Denny Bratha Affandi




Rambutnya sudah memutih dan terlihat jarang-jarang. Keriput kulitnya menjalar dari ujung kaki hingga wajah. Bola matanya kelabu di balik kacamata minus tebal. Tapi suara yang keluar dari rongga mulutnya masih jelas dan tegas. Ia seorang perupa. Pakde Mardadi Untung, begitu aku memanggilnya.

Malam itu aku datang ke rumahnya, di Pemalang Jawa Tengah. Kebetulan Pakde satu kota denganku. Perbincangan itu bermula ketika aku minta bapakku mengirimkan foto Kakek ke Bekasi, tempat tinggalku. Namun, ia justru menyarankan agar potret Kakek dilukis saja. “Minta Pakde Untung buat lukis,” katanya. Akhirnya ketika aku datang ke Pemalang, aku sempatkan sowan ke rumah Pakde. Sebenarnya aku sudah tahu beliau sejak kecil dari cerita Bapak, tetapi baru kali ini aku lihat sosoknya secara dekat.

Pakde duduk di kursi malas tua, barangkali perabot kenangan muda. Sebatang rokok kretek terselip di sela-sela jemarinya, sesekali dihisap perlahan dan dijentik-jentik, seakan ada beban berat hendak dihempaskan bersama kepulan asap.

“Yah, beginilah penampilan saya,” katanya, sambil melihat kaus oblong dan sarung lawasnya yang melekat di tubuh.

Dalam rumah kontrakan yang sumpek, kini ia menghabiskan masa tua. Orang mulai mengubur kisah kelamnya di masa silam. Mimpi buruk yang dilalui selama puluhan tahun di Pulau Buru itu, akibat ia terlibat aktif dalam Lekra (Lembaga Kesenian Rakyat) yang berafiliasi kuat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) di era 1966.

“Rumah saya sempit, Den,” ucap Pakde.

Dengan berat hati, Pakde mulai membongkar memori sebagai orang buangan politik. Semasa di pengasingan, ia satu pondokan dengan penulis besar, Pramoedya Ananta Toer. Bahkan, desain grafis Bumi Manusia terbitan pertama merupakan hasil karyanya. Dari dia pula, aku tahu bahwa Pram seorang sastrawan sekaligus intelektual brilian. Pram, kata Pakde, tidak pernah salah dalam mengetik naskah yang dibuat. Jari-jari Pram seakan punya mata yang menunjukkan letak huruf dalam mesin tik. Pram seorang imajener sejati, ia mampu menggambungkan antara dongeng dan fakta sejarah dalam karya tetraloginya (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca).

”Tokoh Soendari dalam Rumah Kaca, adalah sosok imajinasi yang diciptakan oleh Pram, dengan mengambil seting latar kampung halaman saya,” kenangnya sambil mengusap butiran bening yang menggelayut di sudut matanya.

Lepas dari Pulau Buru, Pakde melanjutkan profesinya sebagai seorang seniman dan mencoba peruntungan dengan menjadi pengusaha. Namun, tangannya memang tidak dingin mengelola uang. Hanya bertahan sepuluh tahun, ia bangkrut. Dan Kini hanya mengandalkan hidup dari melukis dan membuat taman.

“Bakat saya memang melukis. Ndak cocok jadi pengusaha,” ungkapnya sambil tersenyum.

Pakde menyebut lukisan-lukisannya beraliran Surealisme. Yakni lukisan yang mengambil objek asli, namun diubah menjadi dalam bentuk abstrak. Menurutnya, dengan lukisan ia tetap melakukan perlawanan. Maka tidak mengherankan, jika lukisan-lukisannya kebanyakan mengandung muatan kritik dan pemberontakan terhadap fenomena sosial yang terjadi di masyarakat. Tapi menjadi pelukis idealis tidaklah mudah. Ia juga mesti menafkahi diri dan keluarga.

“Menjadi seniman itu kudu tahan lapar. Istri dan anak mesti sabar,” keluhnya.

Kini, ia menghabiskan masa tua di Pemalang sembari merawat galeri lukisannya. Ia tak pernah menyerah dan meninggalkan jalan hidup sebagai perupa. Baginya, melukis adalah perlawanan. Cita-citanya yang belum kesampaian sampai hari ini yaitu membuat pameran tunggal di Jakarta. Dan Pakde berharap betul aku bisa mewujudkan mimpi itu. Tapi sampai hari ini, aku belum bisa berbuat banyak.

Malam semakin dingin, aku cium tanganya dan pamit pulang. Hingga catatan ini selesai, pemberontakannya masih terasa sampai ke dada.

Gambar 1: Derita Petani (Mardadi Untung)
2: Pembalakan Hutan (Mardadi U.)
3: Mata Duitan (Mardadi U.)

0 komentar:

Posting Komentar