Sabtu, 29 Oktober 2011

Proses


Hari ini aku dipaksa kecewa lagi. Tulisanku tak berhasil masuk 20 besar di lomba esai mahasiswa. Memang, pesertanya cukup banyak: 937 naskah masuk meja juri. Padahal beberapa kali telah kukoreksi tulisan itu, aku cukup optimis. Entah, barangkali aku orang yang punya optimisme tinggi. Optimisme untuk gagal. Optimisme untuk remuk redam.

Setahun lalu aku mengikuti lomba itu, gagal. Hari ini gagal pula. Aku sempat berpikir jangan-jangan aku tak punya bakat menulis dan menuangkan gagasan. Aku berpikir aku tak piawai merangkai kata, kalimat, dan paragraf dengan baik. Tidak hanya itu, tulisan yang kerap aku kirim ke surat kabar juga mengalami hal serupa. Gagal.

Aku cemburu pada mereka yang bisa. Aku cemburu pada mereka yang belajar di kampus berkualitas. Mereka seolah punya ‘sandi’ setiap memasuki gelanggang kompetisi. Sesekali aku bangga ketika tulisanku dimuat di Harian Kompas. Tetapi kebanggaan itu bukan untuk diriku sendiri. Aku girang karena nama kampusku bisa bersanding dengan kampus-kampus itu. Kastanisasi. Ah, betapa bodoh aku memelihara pikiriran ini.

Tidak ada baiknya menyemai benih kedengkian. Penulis besar pasti mengalami apa yang aku alami ini. Proses. ‘Menjadi’ itu berbeda makna dengan ‘jadi’. Menjadi adalah proses pergulatan panjang, melelahkan, bahkan menyakitkan. Tetapi ‘jadi’, ibarat barang ajaib si pesulap tangkas. Aku berproses? Ya, tetapi menyakitkan, kawan.

Sebaiknya aku akhiri saja keluhan ini. Barangkali menulis bukan pekerjaan ‘narsis’. Menulis adalah tugas untuk keabadian. Menulis adalah kepribadian. Aku menikmati ini, aku puas menggantikan getar mulut dengan gerak jari. Aku bisa tertawa bila menyadari betapa jauh jarak otak ke jari ketimbang otak ke mulut. Dan aku pun tersenyum: sebab di antara otak dan jari ada hati.

Aku kira ceritaku juga sama seperti cerita mereka: merangkak, gagal, merangkak, gagal, berdiri, berpegangan, berjalan, berlari....duh, nikmatnya berproses.

0 komentar:

Posting Komentar